I. Pengertian Kejahatan Genosida
A. Menurut Pendapat Para Sarjana
Genosida sebagai
tindak pidana internasional merupakan reaksi terhadap adanya peristiwa Holocaust, sebab istilah genosida tidak
dipergunakan sebelum tahun 1944, dimana seorang pengacara asal Polandia yang
bernama Raphael Lemkin menyebutkan bahwa peristiwa pembantaian sistematis dan
luas terhadap kaum Yahudi oleh Nazi merupakan genosida (Cryer, 2005:166). Sebelum istilah genosida diciptakan oleh Raphael Lemkin, Perdana Menteri
Inggris, Winston Churchill menyebutkan kejahatan genosida yang terjadi pada
peristiwa Holocaust sebagai suatu
kejahatan yang tidak bernama (a crime
with no name).
Akan tetapi,
meskipun istilah genosida baru diciptakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944,
namun gejala-gejala genosida itu sendiri bukanlah hal yang baru, sebab dari
masa-masa yang paling kuno, pwmusnahan seluruh kelompok manusia yang memiliki
ciri umum etnis, rasial atau agama merupakan suatu praktik yang sering terjadi,
yang dari waktu ke waktu dikaitkan dengan salah satu dari ketiga faktor itu (Cassese, 1994:99). Oleh karena itu, sangat tepat apa yang dikemukakan oleh sosiolog yang bernama
Leo Kuper bahwa meskipun genosida adalah sebuah istilah yang baru, namun apa
yang terkandung di dalam istilah tersebut sesungguhnya adalah sebuah konsep
yang lama (Jones, 2006:3).
Secara
etimologis, istilah genosida terbentuk dari dua kata, yaitu ‘genos’ dan ‘cidium'. Kata ‘genos’ yang
berasal dari Bahasa Yunani mengandung arti ‘ras’, sedangkan kata kata ‘cidium’ yang diambil dari Bahasa Latin
memiliki makna ‘membunuh’ (Siswanto, 2013:27). Dengan demikian, secara harfiah genosida diartikan sebagai pembunuhan terhadap
ras atau pemusnahan ras (Effendi, 2014:111). Berdasarkan
istilah tersebut, genosida dapat pula diartikan sebagai sebuah kejahatan yang
dilakukan terhadap kelompok tertentu dengan upaya untuk menghapus seluruh
kelompok dari keberadaannya atau menghancurkan mereka.
Raphael Lemkin,
sang penemu istilah genosida dalam bukunya yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe: Laws of Occupation – Analysis of
Government – Proposals for Redress memberikan pengertian genosida sebagai “the destruction of a nation or an ethnic
group,” yang berarti penghancuran atau pemusnahan dari suatu bangsa atau
suatu kelompok etnis. Namun demikian,
ia juga memberi penjabaran yang cukup ekstensif mengenai genosida. Menurut
Lemkin, genosida tidak harus senantiasa dipahami sebagai tindakan menghancurkan
sebuah bangsa (nation) secara
langsung, tetapi yang lebih penting adalah bahwa genosida dimaksudkan untuk
melumpuhkan sendi-sendi dasar kehidupan kelompok bangsa tertentu, dengan
sasaran akhir berupa musnahnya kelompok bangsa tersebut. Lemkin juga
mengemukakan karakteristik penting dari genosida yang kemudian memengaruhi
definisi hukum tentang genosida yang ada di dalam instrumen konvensi
internasional, dimana ia menyatakan bahwa genosida diarahkan atau ditujukan
terhadap kelompok bangsa sebagai suatu kesatuan, dan tindakan yang bersangkutan
diarahkan terhadap individu, bukan dalam kapasitas pribadi mereka, tetapi
sebagai anggota dari kelompok bangsa tersebut (Lemkin, 1944:75-76).
Lebih lanjut,
Lemkin menyatakan bahwa secara umum, genosida tidak berarti tindakan
penghancuran suatu bangsa secara langsung, kecuali apabila dilakukan pembunuhan
massal terhadap semua anggota dari suatu bangsa. Adapun tujuan daripada
genosida itu sendiri merupakan suatu rencan untuk mendisintegrasikan atau menghancurkan
institusi-institusi politik dan sosial, kebudayaan, bahasa, perasaan
kebangsaan, agama, dan keberadaan ekonomi dari suatu kelompok bangsa, dan
menghancurkan keamanan pribadi, kebebasan, kesehatan, martabat, serta kehidupan
individu yang dimiliki oleh kelompok bangsa tersebut (Lemkin 1944:79).
Barbara Harff dan Ted Robert Gurr
mendefenisikan genosida sebagai pelaksanaan kebijakan oleh negara atau
badan-badannya yang mengakibatkan kematian sebagian besar kelompok, dimana
kelompok yang menjadi korban didefinisikan terutama dalam hal karakterikstik
komunal mereka, yaitu etnis, agama, atau kebangsaan (Harff dan Gurr, 1988:12). Frank Robert Chalk dan Kurt Jonassohn memberi makna sebagai suatu bentuk pembunuhan massal dimana
negara atau otoritas lainnya bermaksud untuk menghancurkan sebuah kelompok,
termasuk semua anggota yang ada di dalamnya (Chalk dan Johassohn, 1990:35). Menurut Israel W. Charny, genosida merupakan pembunuhan massal manusia dalam
jumlah yang besar, dimana para korban dalam keadaan yang tidak berdaya (Charny, 1997:76). Sedangkan Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf secara singkat menyatakan bahwa genosida merupakan
pembunuhan populasi etnis, keagamaan, atau politik secara besar-besaran (Kegley dan Wittkopf, 1999:28). Dengan
memberikan penekanan pada sifat sistematik genosida, Erik Goldstein mneyatakan bahwa
pada hakikatnya genosida merupakan pemusnahan kelompok ras dan keagamaan secara
sistematis (Goldstein, 2002:76).
Definisi lain
dikemukakan oleh Donald Bloxham yang menyatakan bahwa genosida adalah
penghancuran secara fisik terhadap suatu kelompok di dalam suatu wilayah yang
terbatas ataupun tidak terbatas dalam jumlah yang besar dengan tujuan untuk
menghancurkan keberadaan kelompok yang bersangkutan (Bloxham, 2009:20). Pieter
N. Drost mengemukakan bahwa genosida adalah penghancuran yang dilakukan secara
sengaja terhadap kehidupan fisik dari individu-individu dikarenakan
keanggotaannya dari suatu perkumpulan manusia tertentu (Drost, 1959:125). Sementara itu, Vahakn Dadrian menyebutkan bahwa tipologi genosida ditandai
dengan keberhasilan upaya yang dilakukan oleh kelompok yang dominan, yang
diberi kewenangan formal dan/atau akses yang lebih besar kepada kekuatan sumber
daya secara keseluruhan, untuk mengurangi jumlah kelompok minoritas secara
paksa atau dengan menggunakan kekerasan yang mematikan, yang berujung dengan
dilakukannya pemusnahaan secara besar-besaran. Irving Louis Horowitz menyatakan
bahwa genosida adalah suatu penghancuran secara sistematis yang dilakukan oleh
aparat birokrasi negara terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Lebih lanjut
Horowitz menyatakan bahwa genosida merupakan upaya sistematis dari waktu ke
waktu untuk membubarkan suatu populasi nasional, biasanya kaum minoritas (Jones, 2006:14-15).
Jack Nusan
Porter menyatakan bahwa genosida adalah penghancuran yang dilakukan dengan
sengaja, baik secara keseluruhan maupun sebagian, oleh pemerintah atau
badan-badannya terhadap minoritas ras, seksual atau gender, keagamaan, suku,
maupun politik. Hal ini tidak hanya dilakukan dengan pembunuhan massal, akan
tetapi juga dengan sengaja mengakibatkan kelompok minoritas tersebut kelaparan,
deportasi secara paksa, dan penaklukan secara politik, ekonomi, dan biologis.
Dengan demikian, genosida memiliki tiga komponen utama, yakni ideologi,
teknologi, dan birokrasi atau organisasi. Kemudian Yehuda Bauer menyatakan
bahwa genosida merupakan penghancuran yang direncanakan terhadap kelompok ras,
bangsa, atau etnis dengan cara sebagai berikut (Jones, 2006:16):
a. Pembunuhan
massal secara selektif terhadap sebagian populasi;
b. Penghapusan
kehidupan dari suatu bangsa, ras, etnis, kebudayaan, dan agama dengan maksud
untuk melakukan ‘denasionalisasi’ atau menghilangkan hak-hak kebangsaan yang
dimiliki oleh kelompok-kelompok tersebut;
c. Perbudakan
dengan maksud yang sama dengan poin b;
d. Penghancuran
kehidupan ekonomi dari suatu bangsa, ras, etnis, dan agama dengan maksud yang
sama dengan poin b dan c;
e. Pemusnahan
biologis dengan melakukan penculikan anak-anak atau mencegah kehidupan keluarga
yang normal dengan maksud yang sama dengan poin b, c, dan d.
Isidor Wallimann
dan Michael N. Dobkowski menyatakan bahwa penghancuran yang dilakukan oleh pemerintah atau
badan-badannya secara sengaja dan terorganisir terhadap keseluruhan atau
sebagian besar dari suatu kelompok rasa tau etnis, yang dilakukan dengan
pembunuhan massal, deportasi secara paksa (pembersihan etnis), pemerkosaan yang
dilakukan secara sistematis, dan penaklukan ekonomi dan biologis (Wallimann dan Dobkowsi, 2000:32). Henry Huttenbach secara singkat mendefinisikan genosida sebagai setiap
perbuatan yang menempatkan keberadaan suatu kelompok dalam bahaya (Huttenbach, 1988:289). Sementara
Helen Fein menyatakan bahwa genosida merupakan serangkaian tindakan terarah
yang dilakukan oleh pelaku untuk menghancurkan suatu kelompok melalui
pembunuhan massal atau pembunuhan secara selektif terhadap anggota-anggota
kelompok tersebut dan menekan reproduksi biologis dan sosial dari kelompok
tersebut. Hal ini dapat dicapai melalui pengasingan atau pembatasan reproduksi
anggota kelompok, meningkatkan kematian bayi, dan memutuskan hubungan antara
reproduksi dan sosialiasi anak dalam keluarga atau kelompok asalnya (Fein, 1993:18).
Steven
T. Katz mendefinisikan genosida sebagai aktualisasi dari suatu tujuan, yang
berhasil dilakukan untuk membunuh secara total setiap kelompok bangsa, etnis,
ras, agama, politik, sosial, gender, ataupun ekonomi (Katz, 1994:131). Secara singkat, John L.P. Thompson dan Gail A. Quets mendefinsikan genosida sebagai penghancuran
terhadap suatu kelompok dengan tindakan-tindakan yang sudah direncanakan (Thompson dan Quets, 1990:248). Selanjutnya,
Martin Shaw menyatakan bahwa genosida adalah sebuah bentuk konflik sosial atau
perang antara organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan bersenjata yang
bertujuan untuk menghancurkan kelompok-kelompok sosial sipil, dan
kelompok-kelompok yang menolak tindakan penghancuran tersebut. Tindakan
genosdia merupakan tindakan dimana organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan
bersenjata memperlakukan kelompok-kelompok sosial sipil sebagai musuh dan
bertujuan untuk menghancurkan kekuatan sosial dari kelompok tersebut, dengan
cara membunuh, kekerasan, dan pemaksaan terhadap individu yang dianggap sebagai
anggota dari kelompok tersebut (Shaw, 2007:154).
Jacques
Semelin mendefinisikan genosida sebagai suatu proses tertentu dari kehancuran
penduduk sipil yang diarahkan pada pemberantasan total terhadap suatu kelompok.
Manus I. Midlarsky menyatakan bahwa genosida dipahami sebagai pembunuhan massal
yang sistematis yang disponsori oleh negara yang dilakukan terhadap orang-orang
yang tak bersalah dan tak berdaya, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak
yang dilambangkan dengan identitas etnoreligius tertentu, dengan tujuan untuk
memberantas kelompok ini dari suatu wilayah tertentu. Mark Levene menyatakan
bahwa genosida terjadi ketika negara memahami bahwa integritasnya akan terancam
oleh sekumpulan populasi, dan negara tersebut berusaha untuk memperbaiki
situasi tersebut dengan cara-cara yang sistematis, penghapusan sekumpulan
populasi tersebut secara massal dan terus-menerus sampai sekumpulan populasi
tersebut tidak lagi dianggap sebagai ancaman (Jones, 2006:20).
Selain
para sarjana barat, beberapa sarjana Indonesia juga memberikan pengertian
genosida, seperti Anis Widyawati yang menyatakan bahwa kejahatan genosida
merupakan bentuk kejahatan yang mempunyai tujuan untk pemusnahan etnis dengan
melakukan penyerangan kaum lain. Selain itu, secara umum kejahatan genosida
adalah tindakan yang terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi
dasar dari bangsa atau kelompok dari sebuah entitas, yang diarahkan pada
individu-individu yang menjadi anggota kelompok yang bersangkutan (Widyawati, 2014:58). Jawahir Thontowi menyatakan bahwa genosida merupakan kejahatan kemanusiaan,
yaitu melakukan penyiksaan, pembunuhan, pengusiran, pembakaran, pengambilalihan
tanah dan barang, yang dilakukan baik secara sengaja dan sistematis oleh
penguasa atau membiarkannya dengan massif karena berbeda suku, agama, ras, dan
antar golongan (Thontowi, 2013:174). Selanjutnya Doortje D. Turangan mendefinisikan genosida sebagai suatu tindakan
dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, etnis, atau agama (Turangan, 2011:10).
Demikianlah
berbagai definisi mengenai genosida menurut pendapat para sarjana, baik para
sarjana barat maupun sarjana dari Indonesia sendiri. Berdasarkan pendapat-pendapat para sarjana tersebut, maka
dapat ditemukan berbagai variasi definisi tentang genosida. Namun, apabila
diperhatikan secara seksama, maka dapat diketahui adanya benang merah di antara
definisi-definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut, sebab dari
berbagai definisi tersebut dapat dilihat adanya konsep dasar dari genosida,
yaitu bahwa genosida selalu ditujukan terhadap sebuah kolektivitas atau
kelompok, baik agama, ras, etnis, atau bangsa, dan bukan terhadap individu (Siswanto, 2013:30).
Adapun
kelompok bangsa yang dimaksudkan ialah sekumpulan individu-individu yang
memiliki identitas yang berbeda, yang identitasnya ditetapkan melalui suatu
tanah air bersama dari bangsa atau asal-usul suatu bangsa. Kelompok ras berarti
sekumpulan individu-individu yang identitasnya ditetapkan berdasarkan
sifat-sifat atau ciri-ciri fisik secara turun-temurun, misalnya berdasarkan
warna kulit. Kelompok etnis merujuk kepada kumpulan individu-individu yang
memiliki satu bahasa yang bersama, serta tradisi atau kebudayaan yang
turun-temurun serta satu warisan bersama. Sedangkan kelompok agama adalah
sekumpulan individu-individu yang identitasnya ditetapkan melalui
keyakinan-keyakinan agama, ajaran-ajaran, ibadah-ibadah, atau ritual-ritual (Turangan, 2011:6).
B. Menurut Peraturan Perundang-Undangan Internasional
Genosida
yang diartikan dengan pembunuhan dengan sengaja, penghancuran atau pemusnahan
kelompok atau anggota kelompok tersebut, pertama sekali dipertimbangkan sebagai
subkategori dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Piagam Mahkamah Militer Internasional
Nuremberg (London Charter / Nuremberg
Charter / Charter of the International Military Tribunal – Annex to the
Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the
European Axis) maupun Piagam Mahkamah Militer Internasional Tokyo (Charter of the International Military
Tribunal for the Far East) tidak secara tegas menyebutkan kata genosida,
menyikapi pemusnahan kaum Yahudi dan etnis lain atau kelompok agama, pada
umumnya kejahatan tersebut diarahkan terhadap kejahatan penindasan (Cassese, 1994:98).
Istilah
genosida secara lebih rinci didefinisikan di dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide atau
Konvensi Genosida yang diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 260A (III)
tanggal 9 Desember 1948. Pasal I Konvensi Genosida menyebutkan bahwa genosida
merupakan tindak pidana internasional, baik dilakukan pada masa perang atau
dalam kondisi damai. Sedangkan definisi mengenai genosida disebutkan dalam
Pasal II yang berbunyi sebagai berikut:
“In the present convention, genocide means any of
the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a
national, ethnical, racial or religious group, as such:
a)
Killing members
of the group;
b)
Causing serious
bodily or mental harm to members of the group;
c)
Deliberately
inflicting on the group conditions of the calculated to bring about its
physical destruction in whole or in part;
d)
Imposing
measures intended to prevent births within the group;
e)
Forcibly
transferring children of the group to another group.”
Berdasarkan
bunyi Pasal II Konvensi Genosida di atas, maka dapatlah diketahui bahwa di
dalam Konvensi Genosida, genosida berarti setiap tindakan yang disebutkan berikut ini yang dilakukan
dengan sengaja untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian suatu kelompok
bangsa, etnis, ras, atau keagamaan dengan cara:
1. Membunuh
anggota kelompok;
2. Menyebabkan
luka-luka serius terhadap tubuh dan mental anggota kelompok;
3. Dengan
sengaja menimbulkan kondisi kehidupan pada kelompok tersebut yang menyebabkan
kerusakan fisik secara keseluruhan atau sebagian;
4. Melakukan
upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok;
5. Memindahkan
anak-anak dalam kelompok ke kelompok lainnya secara paksa.
Berdasarkan
ketentuan Pasal II Konvensi Genosida di atas, maka dapat dikatakan bahwa
definisi genosida secara yuridis merupakan suatu tindakan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
etnis, atau keagamaan (Widyawati, 2014:58). Konvensi Genosida tersebut menjadi dasar pengaturan yang kemudian dijadikan
pedoman untuk melakukan pengadopsian definisi dari genosida oleh
instrumen-instrumen hukum internasional lainnya yang mnjadi dasar pembentukan
mahkamah pidana internasional, baik yang bersifat ad hoc (Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia / International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan Pengadilan
Pidana Internasional untuk Rwanda / International Criminal Tribunal for Rwanda)
maupun yang bersifat permanen (Mahkamah Pidana Internasional / International Criminal Court), seperti Statute of the
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (Statuta ICTY Tahun 1993), Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (Statuta
ICTR Tahun 1994), dan Rome Statute of
International Criminal Court (Statuta Roma Tahun 1998), bahkan di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dalam konstelasi hukum nasional Indonesia (Siswanto, 2013:29).
Di dalam Statuta ICTY, definisi genosida terdapat di
dalam Pasal 4, dimana definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi
genosida yang terdapat di dalam Pasal II Konvensi Genosida. Adapun bunyi Pasal
4 Statuta ICTY tersebut yaitu “…any of
the following acts committed with intent to destroy, in whole or in a part, a
national, ethnical, racial or religious group as such: killing members of the
group; causing serious bodily or mental harm to membees of the group;
deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about
its physical destruction in whole or in a part; imposing measures intended to
prevent births within the group; forcibly transferring children of the group to
another group.” Termasuk dikategorikan sebagai genosida apabila suatu
perbuatan sebagaimana tersebut di atas dilakukan konspirasi untuk melakukan
genosida, secara langsung dan menghasut publik untuk melakukan genosida,
berusaha untuk melakukan genosida, melengkapi genosida (conspiracy to commit genocide; direct and public incitement to commit
genocide; attempt to commit genocide; complicity in genocide) (Effendi, 2014:113).
Pengaturan mengenai genosida yang sama dengan Pasal
4 Statuta ICTY di atas juga diterapkan kembali di dalam Pasal 2 Statuta ICTR
dan Pasal 6 Statuta Roma. Perbedaannya adalah di dalam Statuta Roma terdapat
perluasan dalam hal pertanggungjawaban pelaku kejahatan genosida. Adapun
pengertian genosida yang terdapat di dalam Pasal 6 Statuta Roma ialah sebagai
berikut:
“For the purpose pf this Statute,
“genocide” means any of the following acts committed with intent to destroy, in
whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
a)
Klling members
of the group;
b)
Causing serious
bodily or mental harm to members of the group;
c)
Deliberately
inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its
physical destruction in whole or in part;
d)
Imposing
measures intended to prevent births within the group;
e)
Forcibly
transferring children of the group to another group.”
Defenisi
genosida yang terdapat di dalam Pasal 6 Statuta Roma di atas tidak berbeda jauh
dengan definisi genosida yang terdapat di dalam Pasal II Konvensi Genosida,
Pasal 4 Statuta ICTY, dan Pasal 2 Statuta ICTR. Berdasarkan bunyi Pasal 6
tersebut di atas, maka genosida di dalam Statuta Roma berarti suatu tindak kejahatan
dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan ataupun sebagian suatu
kelompok berdasarkan bangsa, ras, etnis, ataupun agama. Perbuatan penghancuran
yang dimaksud tersebut dapat dilakukan dengan dengan berbagai bentuk kejahatan
seperti (Widyawati, 2014: 59-60):
1. Membunuh
anggota kelompok;
2. Menyebabkan
luka parah atau merusak mental anggota kelompok;
3. Dengan
sengaja mengancam jiwa anggota kelompok yang menyebabkan luka fisik bagian
sebagian maupun keseluruhan;
4. Melakukan
tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok;
5. Memindahkan
anak-anak secara paksa dari suatu kelompok ke kelompok yang lain.
Adapun
penjelasan yang dapat dipahami dari beberapa tindakan kejahatan genosida di
atas adalah sebagai berikut (Turangan, 2011:7):
1. Membunuh
anggota kelompok yaitu suatu tindakan yang dilakukan dengan secara sengaja
perbuatan pembunuhan kepada sekelompok orang secara langsung yang kemudian
tindakan-tindakan tersebut menyebabkan terjadinya kematian oleh kelompok orang.
Dalam elemen-elemen kejahatan genosida yang dihasilkan oleh Komisi Persiapan
Mahkamah Pidana Internasional telah menyebutkan bahwa istilah ‘membunuh’ dalam
poin (a) tersebut dalam istilah yang dapat digunakan secara bergantian dengan
istilah ‘menyebabkan kematian’ bagi sekelompok orang yang telah mendiami suatu
daerah tertentu;
2. Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok yaitu suatu
perbuatan yang secara langsung kepada kelompok tertentu termasuk menyebabkan
trauma atas anggota-anggota kelompok melalui penyiksaan, perkosaan dan
kekerasan seksual yang meluas atau dengan pemaksaan untuk penggunaan
obat-obatan dan mutilasi tubuh orang-orang tersebut;
3. Dengan
sengaja menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan untuk mengakibatkan
kelompok tersebut musnah secara fisik baik sebagian maupun seluruhnya yaitu
suatu perbuatan dengan sengaja menghilangkan sumber-sumber yang digunakan untuk
melangsungkan kehidupan oleh suatu kelompok, seperti air bersih, makanan,
pakaian, dan tempat tinggal atau tempat perlindungan. Tindakan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghilangkan sumber-sumber dalam kelangsungan hidup
manusia dari berbagai bentuknya, misalnya perbuatan yang dilakukan melalui
pengambilan hasil panen, pemblokiran bahan makanan ataupun perumahan-perumahan
yang digunakan sebagai tempat tinggal suatu kelompok tertentu, termasuk juga
pemindahan dan pengusiran kelompok secara paksa. Perbuatan lain yang dilakukan
dengan maksud membuat kelaparan, tidak terdapatnya fasilitas tempat
perlindungan yang aman, dipaksa melakukan pekerjaan berat baik fisik maupun
mental;
4. Melakukan
tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok yaitu
perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan menolak adanya kelahiran
oleh suatu kelompok tertentu termasuk dengan melakukan sterilisasi di luar
kemauan atau secara paksa, pengguguran atau aborsi yang dilakukan secara paksa,
larangan untuk melakukan perkawinan. Perbuatan yang dilakukan untuk memisahkan
antara kaum pria dan wanita dengan maksud mencegah terjadinya hubungan
perkawinan dan perkembangan ataupun penerusan keturunan terhadap suatu kelompok
tertentu;
5. Memindahkan
anak-anak secara paksa dari suatu kelompok ke kelompok yang lain yaitu
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan melalui paksaan untuk memindahkan
kelompok anak-anak yang sebelumnya mendiami daerah tertentu dengan maksud untuk
memisahkan ke kelompok yang lain. Korban yang diamksudkan ialah anak yang belum
berumur 18 tahun. Tindakan yang dilakukan itu menimbulkan rasa ketakutan dengan
bentuk kekerasan, pemaksaan, secara fisik, penangkapan, tekanan psikologis
kepada anak-anak tersebut yang akan dipindahkan ke tempat yang lain dengan
paksaan. Karena perbuatan pemindahan anak yang dilakukan secara paksa dapat
mengakibatkan gangguan yang serius di dalam kelangsungan hidup anak di masa
depan dan perkembangan suatu kelompok tertentu.
II. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Genosida
Dalam
studi kriminologi, faktor-faktor penyebab terjaninya genosida disebut dengan
‘etiologi genosida’, yang merujuk pada teori-teori yang berusaha menjelaskan
perihal sebab-musabab genosida sebagai bagian dari kejahatan (crime). Berbagai studi telah dilakukan
untuk menggali faktor-faktor penyebab terjadinya genosida. Namun, pada umumnya
dipahami bahwa genosida dilatarbelakangi oleh kontelasi faktor-faktor yang
bersifat multikausal seperti psikologi dan sosio-antropologi (Siswanto, 2013:46-47).
Dari
pespektif psikologi, ada beberapa
elemen kejiwaan yang bisa berkontribusi terhadap munculnya genosida adalah
narsisisme atau narcissism. Istilah
narsisime diambil dari nama Narcissus, seorang tokoh dalam mitologi Yunani,
yang merujuk kepada kondisi psikologis dimana seorang subjek memiliki rasa suka
yang berlebihan terhadap diri sendiri. Dalam analisis Sigmund Freud, narsisisme
kolektif sering kali harus dicapai dengan cara memantik konflik dengan pihak
luar, biarpun alasan untuk berkonflik itu sebenarnya tidak terlampau penting,
karena hal tersebut penting untuk untuk membuat demarkasi narsistik antara
‘kita’ dan ‘mereka’ (Jones, 2006:384).
Salah
satu kategori narsisisme yang sering melatarbelakangi genosida adalah narisisme
psikopatrik (malignant narcicissism),
yaitu jenis narsisisme yang selain mendewakan diri sendiri juga menuntut orang
lain untuk mengakui superioritas dan menghendaki penundukan diri orang lain
kepada subjek terkait. Jadi, bagi pengidap narsisisme psikopatrik pihak lain
ada hanya untuk menjadi objek eksploitasi. Sejarah mencatat adanya figur-figur
penentu kebijakan genosidal yang ditengarai memiliki problem kejiwaan yang
berkaitan dengan narsisisme psikopatrik, seperti Adolf Hitler selaku tokoh
sentral dalam peristiwa Holocaust yang
karakter narsisisme psikopatiknya terpuaskan melalui versi Doa Bapa Kami (Pater Noster atau The Lord’s Prayer) yang digubah ulang oleh Liga Pemudi Jerman (League of German Girls) sehingga
berbunyi: “Adolf Hitler, you are our
great Leader. Thy name makes the enemy tremble. Thy Third Reich comes, thy will
alone is law upon earth…” (Jones, 2006:385). Slobodan Milosevic, mantan presiden Serbia yang bertanggung jawab atas
pemusnahan etnis Bosniak di bekas wilayah bekas Yugoslavia juga dipandang
memiliki kepribadian narisisme psikopatrik, dimana ia membangun kepribadiannya
sendiri dan mempersepsikan dunia di luar dirinya sedemikian rupa sehingga cocok
dengan kepribadian yang dibangunnya (Sell, 2002:173). Narsisisme psikopatrik seperti inilah yang disebut dengan narsisisme
psikopatrik pada tingkat individu.
Selain
pada tingkat individu, narsisisme psikopatrik ini sendiri juga terdapat pada
tingkat kolektif, dimana dalam hal ini sebuah masyarakat menganggap diri mereka
sebagai sebuah kolektivitas pilihan yang bersifat khusus, paling benar, dan
memiliki superioritas dalam segala hal. Terkait dengan narsisisme psikopatrik
ini, seorang filsuf bernama Sam Vaknin mendeskripsikan bahwa sebuah kelompok
ataupun para anggota dari kelompok tersebut menganggap bahwa kelompoknya
merupakan kelompok dengan keberhasilan yang tidak terbatas, penuh dengan
ketenaran, memiliki kekuasaan yang ditakuti oleh siapapun atau mahakuasa,
memiliki kepintaran yang tidak dapat ditandingi, memiliki penampilan dan bentuk
tubuh yang paling indah atau ideal, kekal, unik, dan untuk itu mereka membutuhkan
penghormatan yang berlebihan, pujian yang berlebihan, perhatian dan pernyataan
bahwa mereka adalah kelompok yang paling ditakuti dan termasyhur. Mereka
mengharapkan diperlakukan secara khusus dan baik, mereka menuntut agar segala
yang diharapkannya terpenuhi secara otomatis, mereka jarang sekali bertanggung
jawab atas perbuatannya, tidak berempati, tidak mau mengakui atau disamakan
dengan kelompok lainnya, bersifat angkuh dan sombong ditambah dengan perilaku
yang mudah mengamuk ketika frustasi, dibantah, dihukum, dibatasi, atau dilawan.
Kesemuanya ini menuntun mereka memiliki perilaku anti-sosial, fanatik, dan
melakukan aktivitas kriminal dalam skala yang besar (Jones, 2006:386). Hal ini ditunjukkan oleh komunitas Nazi Jerman yang menganggap bahwa mereka
sebagai penerus sah dari ras Arya yang merupakan ras superior, sehingga
mengakibatkan sikap dehumanisasi terhadap kelompok masyarakat lainnya yang pada
akhirnya berkontribusi pada munculnya genosida.
Dari
perspektif sosio-antropologi, ada
dua elemen yang dipandang memiliki kontribusi terhadap genosida, yakni
modernisasi dan konflik etnis. Modernisasi dipandang berpotensi menciptakan
situasi genosida karena empat hal, yakni (Siswanto, 2013:51-52):
1. Konsep
nasionalisme modern, yakni konsep yang membagi habis dunia ke dalam
negara-negara. Kondisi ini membuat kelompok-kelompok ras yang dianggap tidak
sebangsa di sebuah negara menjadi rentan untuk diperlakukan sebagai kelompok
yang berbeda. Ditambah dengan faktor psikologis sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, kondisi ini bisa melahirkan situasi genosida, dimana situasi
seperti inilah yang dialami oleh etnis Yahudi sebagai sebuah bangsa tanpa
negara dan selalu dilihat sebagai bangsa asing di manapun mereka berada, sampai
dengan terbentuknya negara Israel pada tahun 1948.peman
2. Rasisme
ilmiah, dimana konsep ini biasanya dipergunakan sebagai selubung yang dianggap
objektif untuk mendukung superioritas kelompok bangsa, ras, atau etnis
tertentu, seraya membenarkan tindakan merendahkan atau bahkan memusnahkan
bangsa, ras, atau etnis lain. Hal ini dilakukan oleh rezim Nazi Jerman untuk
mendukung superioritas ras Arya, mendehumanisasikan etnis Yahudi, dan pada
akhirnya menjadi dasar bagi kebijakan yang disebut sebagai ‘the final solution’ atau solusi akhir, yang menghendaki pemusnahan
etnis Yahudi.
3. Pemanfaatan
teknologi secara keliru. Hal ini ditandai dengan penemuan senjata-senjata
pemusnah massal, seperti senjata biologi dan kimia, seakan-akan memunculkan
daya Tarik tersendiri bagi pelaku genosida untuk melakukan kejahatan genosida
secara efisien dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Contoh nyata yang dapat
digambarkan dalam hal ini ialah penggunaan kamar-kamar gas (gas chambers) yang dilengkapi dengan
racun racun HCN atau hidrogen sianida
atau Zyklon B di kamp-kamp pemusnahan
yang ada di wilayah kekuasaan Nazi Jerman pada peristiwa Holocaust.
4. Rasionalisasi
atau pengembangan birokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan mekanisme yang bersifat
impersonal di dalam sebuah birokrasi memunculkan kondisi dimana tindakan
genosida sering dipandang sekadar sebagai konsekuensi logis dari sebuah
keputusan birokratis yang tidak perlu dinilai secara moral.
Selain
faktor modernisasi, faktor lain yang sangat menentukan terjadinya genosida
dalam perspektif sosio-antropologi ialah konflik etnis. Michael E. Brown
memberikan definisi konflik etnis sebagai sebuah pertikaian yang berkaitan
dengan permasalahan politik, ekonomi, sosial, budaya, atau wilayah antara dua
atau lebih komunitas etnis. Definisi ini menunjukkan adanya dua unsur dalam
suatu konflik etnis, yaitu (Siswanto, 2013:53):
1. Unsur
substansial, yang merujuk pada isi dari konflik etnis, yakni pertikaian yang
berkaitan dengan permasalahan politik, ekonomi, sosial, budaya, atau wilayah;
2. Unsur
subjek, merujuk pada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik etnis, yakni dua
atau lebih komunitas etnis. Lebih lanjut, Brown mengemukakan bahwa suatu
komunitas etnis harus mempunyai enam kriteria berikut:
a. Kelompok
itu harus memiliki nama sendiri sebagai cerminan identitas kolektif;
b. Anggota
kelompok memiliki keyakinan bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama;
c. Anggota
kelompok merasa bahwa mereka memiliki pengalaman sejarah yang sama;
d. Kelompok
itu memiliki budaya yang sama;
e. Kelompok
itu merasa memiliki keterkaitan dengan wilayah tertentu; dan
f. Anggota
kelompok harus menganggap diri mereka sebagai suatu kelompok atau satu kesatuan
(memiliki self-awareness).
Secara
sistematik, Brown mengidentifikasikan adanya empat kelompok faktor (cluster of factors) yang dapat
memunculkan konflik etnis dan berujung atau mengalami eskalasi kea rah
genosida, antara lain (Siswanto, 2013:54):
1. Secara
struktural, terdapat dua faktor, yakni negara yang lemah (weak state) dan keamanan internal (internal security);
2. Secara
ekonomis dan sosial, tedapat dua faktor, yakni sistem ekonomi yang
diskriminatif (discriminative economic
system) dan pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara tidak adil (unfair allocation of economic resources);
3. Secara
politis, diakibatkan oleh sistem perpolittikan yang diskriminatif (discriminative political system);
4. Secara
kultural dan perseptual, diakibatkan oleh kebencian pada masa lampau atau dalam
bahasa sehari-hari dikenal dengan istilah dendam kesumat (ancient hatred).
III. Sejarah Kejahatan Genosida
A. Herero and Namaqua Genocide
Peristiwa genosida ini terjadi di Namibia pada
tahun 1904 hingga 1907. Peristiwa ini lebih dikenal dengan Herero and Namaqua Genocide, sebab peristiwa ini melibatkan dua
suku yang dominan di wilayah Namibia, yakni suku Herero dan suku Nama (Cooper, 2006:113). Pada saat itu, Namibia merupakan
wilayah jajahan Jerman dan berstatus sebagai wilayah protektorat Jerman dengan
nama Afrika Barat Daya Jerman (Deutsch-Suedwestafrika).
Peristiwa ini didahului dengan pemberontakan yang dilakukan oleh suku Nama di
bawah pimpinan Hendrik Witbooi pada tahun 1903 dan diikuti oleh suku Herero di
bawah pimpinan Samuel Maharero pada tanggal 12 Januari 1904 terhadap pemerintah
kolonial Jerman yang sewenang-wenang merampas lahan-lahan subur beserta
ternak-ternak milik suku-suku asli.
Untuk
mengantisipasi pergolakam tersebut, pemerintah kolonial Jerman yang mengangkat
Letnan Jenderal Lothar van Tohta sebagai Komandan Tertinggi (Oberbefehlshaber) di Afrika Barat Daya
Jerman pada tanggal 3 Mei 1904, dimana ia tiba dengan membawa sekitar 30.000
pasukan bersenjata. Di bawah komandonya, pasukan Jerman berhasil mengepung para
pemberontak Herero dan Nama serta menyudutkan mereka di sebuah lokasi yang
jalan keluar satu-satunya adalah gurun Kalahari yang ganas. Selain itu, serdadu
Jerman diperintahkan untuk meracuni beberapa mata air kecil yang ada di sana.
Hal ini menyebabkan suku Herero dan Nama menjadi kelaparan dan kehausan hingga
mati (Totten, Parsons, dan Charny, 2004:22). Pada tanggal 2 Oktober 1904, van Trotha memerintahkan agar setiap warga Herero
dan Nama yang ditemukan masih hidup, baik bersenjata maupun tidak untuk
ditembak mati. Sementara sebagian warga Herero dan Nama yang masih bertahan
hidup dikumpulkan untuk dikirim ke Kamp Konsentrasi Pulau Shark untuk melakukan
kerja paksa (Hartmann, Silvester, Hayes, 1999:118). Jumlah keseluruhan korban tewas dalam peristiwa genosida ini meliputi 24.000
hingga 100.000 orang Herero dan 10.000 orang Nama (Sarkin-Hughes, 2008:142).
B. Armenian Genocide
Peristiwa
genosida ini terjadi pada etnis Armenia yang berdiam di
wilayah selatan pegunungan Kaukasus pada tahun 1915 (Armenian Genocide atau Medz
Yeghern), dimana pada saat itu wilayah tersebut masih berada di bawah
kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh gerakan
kelompok politik ‘Turki Muda’ atau Committee
of Union and Progress (CUP) yang
menggulingkan sultan Ottoman pada tahun 1908 guna menghendaki agar Turki
menjadi negara yang modern, sekuler, dan dikelola seperti negara-negara barat. Pada
Perang Dunia I, CUP berpihak kepada Jerman, sehingga menempatkan Kekaisaran
Ottoman bermusuhan dengan Kekaisaran Rusia. Dalam situasi seperti ini muncul
kekhawatiran di pihak Turki bahwa etnis Armenia yang Kristen akan membantu
Rusia (Siswanto, 2013:35).
Didorong
atas kekhawatiran tersebut, pada tanggal 29 Mei 1915, CUP menerapkan Techrir Law atau aturan yang memberikan
kewenangan kepada pemerintah Ottoman dan otoritas militernya untuk
mendeportasikan siapa saja yang diangggap dapat membahayakan keamanan nasional (Balakian, 2003:25). Berdasarkan
aturan tersebut, pemerintah Ottoman memutuskan untuk mengusir seluruh etnis
Armenia yang kala itu berjumlah 1,7 juta jiwa dari Turki. Hal ini mengakibatkan
etnis Armenia mati kelaparan dan kehausan, terutama di gurun Deir er-Zor,
Suriah (Dadrian, 1995:350), . Pemerkosaan, pelecehan seksual, bahkan perdagangan manusia untuk dijadikan
budak seks juga dilakukan oleh para serdadu Ottoman terhadap para wanita ernis
Armenia (Akcam, 2012:312-315). Bahkan,
Konsul Jerman di Aleppo yang bernama Walter Rößler menyatakan bahwa tak jarang
gadis-gadis Armenia yang parasnya cantik diperkosa oleh 10-15 orang serdadu
Turki dan kemudian gadis itu dibiarkan begitu saja hingga mati (Gust, 2013:26-27).
Selain
itu, sebanyak 25 kamp konsentrasi dibangun untuk menampung orang-orang Armenia
yang masih hidup untuk dijadikan pekerja paksa. Di dalam kamp tersebut,
pemerintah Ottoman tidak memberikan makanan dan minuman kepada orang-orang
Armenia, sehingga mengakibatkan 6.000 etnis Armenia mati secara perlahan karena
kelaparan, kehausan, dan penyakit disentri (Gust, 2013:653-654). Pada tahun 1918, Komandan Pasukan Ketiga Ottoman memerintahkan pasukannya untuk
membakar etnis Armenia secara massal yang ada di sebuah desa dekat Mus.
Pembakaran massal ini juga digunakan sebagai metode yang singkat untuk
menghabisi para wanita dan anak-anak yang ada di dalam kamp konsentrasi (McClure, 1917:400-401). Sementara pembunuhan massal terhadap etnis Armenia yang ada di Provinsi
Trabzond dilakukan dengan cara membawa mereka, terutama wanita dan anak-anak
dengan kapal, lalu membuang dan menenggelamkan mereka ke tengah laut hingga
mereka mati tenggelam (Winter, 2003:81).
Vahakn
Dadrian menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat peristiwa penenggelaman di
Laut Hitam sekitar 50.000 orang. Sementara korban tewas akibat peristiwa
penenggelaman di Sungai Efrat dan sekitarnya tidak terhitung jumlahnya.
Sedangkan jumlah korba tewas di Sungai Bitlis berkisar 900 orang (Charny, Tutu, dan Wiesenthal, 2000:95). Sementara pembunuhan massal yang terjadi di kamp-kamp konsentrasi dilakukan
dengan eksperimen medis terhadap etnis Armenia dengan menggunakan racun dan
metode overdosis obat-obatan, yang terdiri dari morfin (morphine), gas beracun (toxic
gas), dan suntikan virus tipus (typhoid
inoculation) (Dadrian, 1986:169-192). Adapun perkiraan jumlah etnis Armenia yang tewas dalam peristiwa genosida ini
berkisar antara 800.000 hingga 1.500.000 jiwa (Heidenrich, 2001:5).
C. Holodomor
Peristiwa
genosida ini terjadi di Ukraina pada tahun 1932 yang dikenal sebagai Holodomor yang dilakukan oleh Uni Soviet
yang membunuh 2.500.000 hingga 7.500.000 etnis Ukraina (Jones, 2006:194). Genosida
tersebut dilakukan karena pimpinan Uni Soviet, Joseph Stalin berusaha untuk
memusnahkan gerakan kemerdekaan Ukraina dari Uni Soviet (Davies dan Wheatcroft, 2002:77). Tindakan genosida yang dilakukan oleh Uni Soviet ialah membiarkan etnis Ukraina
mati kelaparan, memaksa untuk menyetor gandum-gandum milik mereka kepada Uni
Soviet, menaikkan pajak, serta membunuh dalam jumlah yang besar. Mereka yang
dianggap kuat secara fisik dikirim ke kamp-kamp konsentrasi di Siberia untuk
bekerja paksa, sementara yang lainnya dibiarkan kelaparan di kampung
halamannya, dengan mengisolasi dan tidak memasok bahan-bahan makanan ke wilayah
yang didiami oleh etnis Ukraina (Siswanto, 2013:36-37).
D. Holocaust
Peristiwa
genosida ini merupakan peristiwa pembunuhan massal yang menimpa kurang lebih 6.000.000 etnis
Yahudi di Eropa di bawah rezim Nazi Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler pada
tahun 1933 hingga 1945 (Snyder, 2010:45). Akan
tetapi, kelompok etnis yang menjadi korban dalam peristiwa Holocaust ini tidak hanya menimpa etnis Yahudi saja, melainkan juga
meliputi kelompok etnis Romania, Polandia, Gipsi, Serbia, dan Slav; kelompok
politik seperti kelompok komunis dan pasukan bersenjata Uni Soviet; kelompok
keagamaan seperti Freemason dan Saksi Yehuwa; serta kelompok sosial seperti
homoseksual dan kaum disabilitas, yang berdiam di wilayah kekuasaan dan wilayah
taklukan Nazi Jerman, yang apabila dijumlahkan bersama-sama dengan etnis Yahudi
mencapai 11.000.000 jiwa (Niewyk dan Nicosia, 2002:45-52).
Kejahatan
genosida yang dilakukan oleh pemerintah Nazi Jerman khususnya kepada etnis
Yahudi ialah menangkap dan memasukkan mereka ke dalam kamp-kamp konsentrasi
untuk dijadikan sebagai pekerja paksa untuk membuat senjata-senjata perang bagi
bala tentara Nazi Jerman, dimana rata-rata tingkat kematian di kamp-kamp
konsentrasi mencapai angka 50% (Harran, 2000:321). Di
dalam kamp-kamp ini, etnis Yahudi dan lainnya dipaksa untuk bekerja sampai
mati. Dalam satu hari, mereka wajib bekerja selama 12 hingga 14 jam tanpa
henti. Apabila kedapatan ada yang keadaan fisiknya mulai melemah, maka tentara
Nazi Jerman akan membunuhnya dengan cara menembak secara langsung atau
memasukkan mereka ke dalam kamar gas yang berisi gas beracun (Longerich, 2010:314-320).
Selain
membuat kamp-kamp konsentrasi, pemerintah Nazi Jerman juga membuat ghetto atau suatu wilayah terisolir yang
di dalamnya dipenuhi oleh etnis Yahudi, khususnya di Polandia. Orang-orang
Yahudi yang ada di dalam ghetto tersebut
tidak boleh keluar dari wilayah tersebut dan ghetto tersebut juga tertutup bagi dunia luar atau orang-orang
asing, selain tentara Nazi Jerman (Hilberg, 2003:216-217). Sama halnya dengan etnis Yahudi yang ada di kamp konsentrasi, etnis yahudi yang
berada di dalam ghetto juga dipaksa
untuk bekerja, dan sewaktu-waktu mereka akan dideportasikan ke kamp-kamp
pemusnahan untuk dibunuh (Hilberg, 1995:106). Pendeportasian seluruh etnis Yahudi dari ghetto-ghetto ke kamp-kamp pemusnahan baru
dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 1942 dengan menggunakan transportasi
kereta api pengangkut hewan ternak (Berenbaum, 2005:116).
Di
kamp pemusnahan, etnis Yahudi dan yang lainnya dipaksa untuk memasuki
kamar-kamar dengan alasan mereka harus mandi dan sauna terlebih dahulu,
sehingga mereka melepaskan pakaian yang mereka gunakan dan telanjang, kemudian
mereka akan dikunci dari luar. Akan tetapi, kamar-kamar yang mereka masuki
tersebut bukanlah kamar biasa, melainkan kamar gas (gas chambers), dimana ketika mereka sudah memasukinya, maka gas
akan keluar dari ventilasi-ventilasi yang ada di sudut-sudut ruangan dan
memenuhi kamar tersebut, sehingga membuat semua orang yang ada di dalamnya mati
tercekik dan keracunan. Adapun jenis racun yang dipergunakan ialah racun HCN
atau hidrogen sianida (Piper, 1998:173). Demikianlah kekejaman-kekejaman yang
dilakukan oleh rezim Nazi Jerman di bawah pemerintahan Adolf Hitler, khususnya
bagi etnis Yahudi. Dan dari peristiwa Holocaust
inilah International Military
Tribunal of Nuremberg atau Mahkamah Militer Internasional Nuremberg
dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman.
E. Cambodian Genocide
Peristiwa genosida ini terjadi di Kamboja pada tahun 1975 hingga 1979
yang dilakukan oleh rezim gerilyawan komunis Khmer Merah (Khmer Rogue) yang dipimpin oleh Jenderal Pol Pot, dan menewaskan
sekitar 1.500.000 hingga 3.000.000 jiwa (Frey, 2009:83). Korban kejahatan genosida yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah khususnya
kepada semua kelompok keagamaan di Kamboja yang meliputi Islam, Kristen, dan
Buddha, bahkan hingga kepada kelompok etnis minoritas Champa (Kiernan, 2003:30). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memurnikan populasi bangsa Khmer dan
merombak sistem perpolitikan Kamboja menjadi sebuah negara sosialisme agraris (agrarian socialism) yang berlandaskan atas
ideologi komunisme, khususnya Stalinisme dan Maoisme (Hannum, 1989:88-89). Kejahatan yang dilakukan ialah dengan merelokasikan secara paksa
kelompok-kelompok tersebut dari wilayah-wilayah perkotaan, penyiksaan,
pembunuhan massal, menjadikan pekerja paksa, serta membiarkan terjadinya
kelaparan dan malnutrisi yang berujung pada kematian (Heuveline, 1998:49-65).
F. Bangladesh Genocide
Peristiwa genosida ini dilakukan oleh agnkatan bersenjata Pakistan dan kelompok-kelompok militan
seperti Jamaat-e-Islami, Shanti
Committee, Razakars, al-Badr, dan al-Shams
terhadap etnis Benggali di Pakistan Timur pada tanggal 21 Maret hingga 16
Desember 1971. Peristiwa genosida ini dilatarbelakangi oleh tindakan pemerintah
Pakistan yang dikuasai oleh etnis Punjabi yang berdiam di Pakistan Barat
menganggap bahwa etnis Benggali yang berdiam di Pakistan Timur sebagai kaum inferior (rendahan) dan ajaran Islam
yang mereka laksanakan tidak murni. Hal ini menyebabkan etnis Punjabi
memaksakan etnis Benggali untuk berasimilasi dengan budaya Punjabi (Mookherjee, 2009:51). Secara demografis, etnis Benggali yang berjumlah 75.000.000 jauh lebih besar
daripada etnis Punjabi yang hanya berjumlah 55.000.000 (Jones, 2006:340). Hal
ini mengakibatkan kaum nasionalis Benggali memberontak dan ingin membuat
pemerintahannya sendiri yang merdeka dari Pakistan yang dikuasai oleh etnis
Punjabi. Hal ini ditunjukkan dengan diadakannya pemilihan umum pada bulan
Desember 1970, yang memilih Syaikh Mujibur Rahman sebagai pemimpin Pakistan
Timur (Roy, 2010:102).
Pemerintah
Pakistan menolak hal tersebut dan melancarkan sebuah operasi militer yang
bernama operation searchlight pada
bulan Maret 1971, yang tujuan aslinya
ialah untuk menahan elemen separatis dari gerakan nasionalisme Benggali, mengambil
kendali atas kota-kota penting yang ada di Pakistan Timur, serta menghapuskan
semua kaum oposisi dalam waktu satu bulan (Salik, 1997:63). Akan tetapi, tujuan utama ini tidak diindahkan oleh angkatan bersenjata
Pakistan berserta pada kelompok militant pendukungnya, sehingga pada akhirnya
mereka juga membunuh etnis Benggali yang tidak bersalah yang berkisar antara
300.000 hingga 3.000.000 jiwa, serta memperkosa 200.000 hingga 400.000 wanita
Benggali (Sharlach, 2000:92-93).
G. Guatemalan Genocide
Peristiwa
genosida ini terjadi di Guatemala pada tahun 1982 yang dilakukan oleh
mantan presidennya yang bernama Efrain Rios Montt, dengan dukungan angkatan
bersenjatanya melakukan penindasan secara keras terhadap setiap upaya perlawanan
kepada pemerintah, khususnya terhadap masyarakat asli Ixil Maya, dimana
sebanyak 626 desa dirazia dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah beserta
dengan hasil pertanian dam ternak mereka. Antara tahun 1966 hingga 1990
diperkirakan sebanyak 200.000 jiwa menjadi korban kejahatan genosida yang
dilakukan oleh pemerintah Guatemala, khususnya terhadap etnis Ixil Maya (Siswanto, 2013:41).
H. Rwandan Genocide
Peristiwa
genosida ini terjadi pada tanggal 7 April hingga 15 Juli
1994. Peristiwa genosida ini dilakukan terhadap etnis Tutsi yang dilakukan oleh
etnis Hutu sebagai etnis mayoritas di Rwanda. Dalam rentang waktu tiga bulan
tersebut, diperkirakan sekitar 500.000 hingga 1.000.000 jiwa tewas (Harsch, 1998:4). Kebanyakan korban dibunuh di desa-desa atau kota-kota tempat tinggal mereka
sendiri oleh etnis Hutu yang desa atau kotanya bersebelahan dengan mereka.
Angkatan bersenjata Rwanda membunuh masyarakat Tutsi dengan menggunakan machete (sejenis parang yang biasanya
digunakan untuk menerobos hutan hujan tropis dan memotong batang tebu) dan senapan. Bahkan, pemerintah daerah dari kota dan desa yang didiami oleh
etnis Tutsi mengabarkan melalui siaran radio bahwa warga sipil wajib turut
serta untuk membunuh etnis Tutsi yang ada di lingkungannya masing-masing, dan
apabila warga sipil yang bersangkutan menolak, maka ia juga akan dibunuh di
tempat oleh angkatan bersenjata Rwanda (Prunier, 1998:98).
Para
wanita etnis Tutsi juga menjadi korban pemerkosaan dan dijadikan budak
seks.oleh angkatan bersenjata Rwanda seperti Army for the Liberation of Rwanda, The Rwandan Security Forces, dan
Presidential Guard, bahkan juga oleh
masyarakat sipil etnis Hutu. Tindakan serupa juga dilakukan terhadap etnis Hutu
yang moderat dan orang-orang yang lahir sebagai hasil percampuran antara etnis
Tutsi dan Hutu (de Brouwer, 2005:13). Peristiwa Rwandan Genocide inilah
yang kemudia menjadi latar belakang terbentuknya International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) atau Pengadilan
Pidana Internasional untuk Rwanda pada tanggal 8 November 1994 berdasarkan
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S/RES/955 untuk memeriksa dan mengadili
orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan genosida yang dilakukan di
Rwanda (Aptel, 2008:169-188).
I. Bosnian Genocide
Peristiwa genosida yang terjadi di Bosnia-Herzegovina pada tanggal 11
sampai dengan 13 Juli 1995, yang dikenal dengan nama Bosnian Genocide. Peristiwa genosida ini dilakukan oleh etnis
Bosnian Serb yang beragama Kristen Ortodoks terhadap etnis Bosniak yang
beragama Islam dan Bosnian Croat yang beragama Kristen Katolik. Kejahatan yang
dilakukan oleh etnis Bosnian Serb meliputi pengungkungan secara melawan hukum,
pembunuhan massal, pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan, perampokan,
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, menargetkan para
pemimpin politik beserta kaum intelektual dan profesional, pendeportasian
secara paksa, merampas harta benda, menghancurkan rumah-rumah dan toko-toko,
serta menghancurkan tempat beribadah etnis Bosniak dan Bosnian Croat. Adapun
jumlah korban tewas pada peristiwa ini sekitar 8.372 jiwa (Mojzes, 2011:178).