Tuesday, February 21, 2017

KEJAHATAN GENOSIDA

I. Pengertian Kejahatan Genosida


A. Menurut Pendapat Para Sarjana

Genosida sebagai tindak pidana internasional merupakan reaksi terhadap adanya peristiwa Holocaust, sebab istilah genosida tidak dipergunakan sebelum tahun 1944, dimana seorang pengacara asal Polandia yang bernama Raphael Lemkin menyebutkan bahwa peristiwa pembantaian sistematis dan luas terhadap kaum Yahudi oleh Nazi merupakan genosida (Cryer, 2005:166). Sebelum istilah genosida diciptakan oleh Raphael Lemkin, Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill menyebutkan kejahatan genosida yang terjadi pada peristiwa Holocaust sebagai suatu kejahatan yang tidak bernama (a crime with no name).
Akan tetapi, meskipun istilah genosida baru diciptakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944, namun gejala-gejala genosida itu sendiri bukanlah hal yang baru, sebab dari masa-masa yang paling kuno, pwmusnahan seluruh kelompok manusia yang memiliki ciri umum etnis, rasial atau agama merupakan suatu praktik yang sering terjadi, yang dari waktu ke waktu dikaitkan dengan salah satu dari ketiga faktor itu (Cassese, 1994:99). Oleh karena itu, sangat tepat apa yang dikemukakan oleh sosiolog yang bernama Leo Kuper bahwa meskipun genosida adalah sebuah istilah yang baru, namun apa yang terkandung di dalam istilah tersebut sesungguhnya adalah sebuah konsep yang lama (Jones, 2006:3).
Secara etimologis, istilah genosida terbentuk dari dua kata, yaitu ‘genos’ dan ‘cidium'. Kata ‘genos’ yang berasal dari Bahasa Yunani mengandung arti ‘ras’, sedangkan kata kata ‘cidium’ yang diambil dari Bahasa Latin memiliki makna ‘membunuh’ (Siswanto, 2013:27). Dengan demikian, secara harfiah genosida diartikan sebagai pembunuhan terhadap ras atau pemusnahan ras (Effendi, 2014:111). Berdasarkan istilah tersebut, genosida dapat pula diartikan sebagai sebuah kejahatan yang dilakukan terhadap kelompok tertentu dengan upaya untuk menghapus seluruh kelompok dari keberadaannya atau menghancurkan mereka.
Raphael Lemkin, sang penemu istilah genosida dalam bukunya yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe: Laws of Occupation – Analysis of Government – Proposals for Redress memberikan pengertian genosida sebagai “the destruction of a nation or an ethnic group,” yang berarti penghancuran atau pemusnahan dari suatu bangsa atau suatu kelompok etnis. Namun demikian, ia juga memberi penjabaran yang cukup ekstensif mengenai genosida. Menurut Lemkin, genosida tidak harus senantiasa dipahami sebagai tindakan menghancurkan sebuah bangsa (nation) secara langsung, tetapi yang lebih penting adalah bahwa genosida dimaksudkan untuk melumpuhkan sendi-sendi dasar kehidupan kelompok bangsa tertentu, dengan sasaran akhir berupa musnahnya kelompok bangsa tersebut. Lemkin juga mengemukakan karakteristik penting dari genosida yang kemudian memengaruhi definisi hukum tentang genosida yang ada di dalam instrumen konvensi internasional, dimana ia menyatakan bahwa genosida diarahkan atau ditujukan terhadap kelompok bangsa sebagai suatu kesatuan, dan tindakan yang bersangkutan diarahkan terhadap individu, bukan dalam kapasitas pribadi mereka, tetapi sebagai anggota dari kelompok bangsa tersebut (Lemkin, 1944:75-76).
Lebih lanjut, Lemkin menyatakan bahwa secara umum, genosida tidak berarti tindakan penghancuran suatu bangsa secara langsung, kecuali apabila dilakukan pembunuhan massal terhadap semua anggota dari suatu bangsa. Adapun tujuan daripada genosida itu sendiri merupakan suatu rencan untuk  mendisintegrasikan atau menghancurkan institusi-institusi politik dan sosial, kebudayaan, bahasa, perasaan kebangsaan, agama, dan keberadaan ekonomi dari suatu kelompok bangsa, dan menghancurkan keamanan pribadi, kebebasan, kesehatan, martabat, serta kehidupan individu yang dimiliki oleh kelompok bangsa tersebut (Lemkin 1944:79).
Barbara Harff dan Ted Robert Gurr mendefenisikan genosida sebagai pelaksanaan kebijakan oleh negara atau badan-badannya yang mengakibatkan kematian sebagian besar kelompok, dimana kelompok yang menjadi korban didefinisikan terutama dalam hal karakterikstik komunal mereka, yaitu etnis, agama, atau kebangsaan (Harff dan Gurr, 1988:12). Frank Robert Chalk dan Kurt Jonassohn memberi makna sebagai suatu bentuk pembunuhan massal dimana negara atau otoritas lainnya bermaksud untuk menghancurkan sebuah kelompok, termasuk semua anggota yang ada di dalamnya (Chalk dan Johassohn, 1990:35). Menurut Israel W. Charny, genosida merupakan pembunuhan massal manusia dalam jumlah yang besar, dimana para korban dalam keadaan yang tidak berdaya (Charny, 1997:76). Sedangkan Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf secara singkat menyatakan bahwa genosida merupakan pembunuhan populasi etnis, keagamaan, atau politik secara besar-besaran (Kegley dan Wittkopf, 1999:28). Dengan memberikan penekanan pada sifat sistematik genosida, Erik Goldstein mneyatakan bahwa pada hakikatnya genosida merupakan pemusnahan kelompok ras dan keagamaan secara sistematis (Goldstein, 2002:76).
Definisi lain dikemukakan oleh Donald Bloxham yang menyatakan bahwa genosida adalah penghancuran secara fisik terhadap suatu kelompok di dalam suatu wilayah yang terbatas ataupun tidak terbatas dalam jumlah yang besar dengan tujuan untuk menghancurkan keberadaan kelompok yang bersangkutan (Bloxham, 2009:20). Pieter N. Drost mengemukakan bahwa genosida adalah penghancuran yang dilakukan secara sengaja terhadap kehidupan fisik dari individu-individu dikarenakan keanggotaannya dari suatu perkumpulan manusia tertentu (Drost, 1959:125). Sementara itu, Vahakn Dadrian menyebutkan bahwa tipologi genosida ditandai dengan keberhasilan upaya yang dilakukan oleh kelompok yang dominan, yang diberi kewenangan formal dan/atau akses yang lebih besar kepada kekuatan sumber daya secara keseluruhan, untuk mengurangi jumlah kelompok minoritas secara paksa atau dengan menggunakan kekerasan yang mematikan, yang berujung dengan dilakukannya pemusnahaan secara besar-besaran. Irving Louis Horowitz menyatakan bahwa genosida adalah suatu penghancuran secara sistematis yang dilakukan oleh aparat birokrasi negara terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Lebih lanjut Horowitz menyatakan bahwa genosida merupakan upaya sistematis dari waktu ke waktu untuk membubarkan suatu populasi nasional, biasanya kaum minoritas (Jones, 2006:14-15).  
Jack Nusan Porter menyatakan bahwa genosida adalah penghancuran yang dilakukan dengan sengaja, baik secara keseluruhan maupun sebagian, oleh pemerintah atau badan-badannya terhadap minoritas ras, seksual atau gender, keagamaan, suku, maupun politik. Hal ini tidak hanya dilakukan dengan pembunuhan massal, akan tetapi juga dengan sengaja mengakibatkan kelompok minoritas tersebut kelaparan, deportasi secara paksa, dan penaklukan secara politik, ekonomi, dan biologis. Dengan demikian, genosida memiliki tiga komponen utama, yakni ideologi, teknologi, dan birokrasi atau organisasi. Kemudian Yehuda Bauer menyatakan bahwa genosida merupakan penghancuran yang direncanakan terhadap kelompok ras, bangsa, atau etnis dengan cara sebagai berikut (Jones, 2006:16):
a.     Pembunuhan massal secara selektif terhadap sebagian populasi;
b.     Penghapusan kehidupan dari suatu bangsa, ras, etnis, kebudayaan, dan agama dengan maksud untuk melakukan ‘denasionalisasi’ atau menghilangkan hak-hak kebangsaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tersebut;
c.     Perbudakan dengan maksud yang sama dengan poin b;
d.     Penghancuran kehidupan ekonomi dari suatu bangsa, ras, etnis, dan agama dengan maksud yang sama dengan poin b dan c;
e.     Pemusnahan biologis dengan melakukan penculikan anak-anak atau mencegah kehidupan keluarga yang normal dengan maksud yang sama dengan poin b, c, dan d.
Isidor Wallimann dan Michael N. Dobkowski menyatakan bahwa penghancuran yang dilakukan oleh pemerintah atau badan-badannya secara sengaja dan terorganisir terhadap keseluruhan atau sebagian besar dari suatu kelompok rasa tau etnis, yang dilakukan dengan pembunuhan massal, deportasi secara paksa (pembersihan etnis), pemerkosaan yang dilakukan secara sistematis, dan penaklukan ekonomi dan biologis (Wallimann dan Dobkowsi, 2000:32). Henry Huttenbach secara singkat mendefinisikan genosida sebagai setiap perbuatan yang menempatkan keberadaan suatu kelompok dalam bahaya (Huttenbach, 1988:289). Sementara Helen Fein menyatakan bahwa genosida merupakan serangkaian tindakan terarah yang dilakukan oleh pelaku untuk menghancurkan suatu kelompok melalui pembunuhan massal atau pembunuhan secara selektif terhadap anggota-anggota kelompok tersebut dan menekan reproduksi biologis dan sosial dari kelompok tersebut. Hal ini dapat dicapai melalui pengasingan atau pembatasan reproduksi anggota kelompok, meningkatkan kematian bayi, dan memutuskan hubungan antara reproduksi dan sosialiasi anak dalam keluarga atau kelompok asalnya (Fein, 1993:18).
Steven T. Katz mendefinisikan genosida sebagai aktualisasi dari suatu tujuan, yang berhasil dilakukan untuk membunuh secara total setiap kelompok bangsa, etnis, ras, agama, politik, sosial, gender, ataupun ekonomi (Katz, 1994:131). Secara singkat, John L.P. Thompson dan Gail A. Quets mendefinsikan genosida sebagai penghancuran terhadap suatu kelompok dengan tindakan-tindakan yang sudah direncanakan (Thompson dan Quets, 1990:248). Selanjutnya, Martin Shaw menyatakan bahwa genosida adalah sebuah bentuk konflik sosial atau perang antara organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan bersenjata yang bertujuan untuk menghancurkan kelompok-kelompok sosial sipil, dan kelompok-kelompok yang menolak tindakan penghancuran tersebut. Tindakan genosdia merupakan tindakan dimana organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan bersenjata memperlakukan kelompok-kelompok sosial sipil sebagai musuh dan bertujuan untuk menghancurkan kekuatan sosial dari kelompok tersebut, dengan cara membunuh, kekerasan, dan pemaksaan terhadap individu yang dianggap sebagai anggota dari kelompok tersebut (Shaw, 2007:154).
Jacques Semelin mendefinisikan genosida sebagai suatu proses tertentu dari kehancuran penduduk sipil yang diarahkan pada pemberantasan total terhadap suatu kelompok. Manus I. Midlarsky menyatakan bahwa genosida dipahami sebagai pembunuhan massal yang sistematis yang disponsori oleh negara yang dilakukan terhadap orang-orang yang tak bersalah dan tak berdaya, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang dilambangkan dengan identitas etnoreligius tertentu, dengan tujuan untuk memberantas kelompok ini dari suatu wilayah tertentu. Mark Levene menyatakan bahwa genosida terjadi ketika negara memahami bahwa integritasnya akan terancam oleh sekumpulan populasi, dan negara tersebut berusaha untuk memperbaiki situasi tersebut dengan cara-cara yang sistematis, penghapusan sekumpulan populasi tersebut secara massal dan terus-menerus sampai sekumpulan populasi tersebut tidak lagi dianggap sebagai ancaman (Jones, 2006:20).
Selain para sarjana barat, beberapa sarjana Indonesia juga memberikan pengertian genosida, seperti Anis Widyawati yang menyatakan bahwa kejahatan genosida merupakan bentuk kejahatan yang mempunyai tujuan untk pemusnahan etnis dengan melakukan penyerangan kaum lain. Selain itu, secara umum kejahatan genosida adalah tindakan yang terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari bangsa atau kelompok dari sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok yang bersangkutan (Widyawati, 2014:58). Jawahir Thontowi menyatakan bahwa genosida merupakan kejahatan kemanusiaan, yaitu melakukan penyiksaan, pembunuhan, pengusiran, pembakaran, pengambilalihan tanah dan barang, yang dilakukan baik secara sengaja dan sistematis oleh penguasa atau membiarkannya dengan massif karena berbeda suku, agama, ras, dan antar golongan (Thontowi, 2013:174). Selanjutnya Doortje D. Turangan mendefinisikan genosida sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, atau agama (Turangan, 2011:10).
Demikianlah berbagai definisi mengenai genosida menurut pendapat para sarjana, baik para sarjana barat maupun sarjana dari Indonesia sendiri. Berdasarkan  pendapat-pendapat para sarjana tersebut, maka dapat ditemukan berbagai variasi definisi tentang genosida. Namun, apabila diperhatikan secara seksama, maka dapat diketahui adanya benang merah di antara definisi-definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut, sebab dari berbagai definisi tersebut dapat dilihat adanya konsep dasar dari genosida, yaitu bahwa genosida selalu ditujukan terhadap sebuah kolektivitas atau kelompok, baik agama, ras, etnis, atau bangsa, dan bukan terhadap individu (Siswanto, 2013:30).
Adapun kelompok bangsa yang dimaksudkan ialah sekumpulan individu-individu yang memiliki identitas yang berbeda, yang identitasnya ditetapkan melalui suatu tanah air bersama dari bangsa atau asal-usul suatu bangsa. Kelompok ras berarti sekumpulan individu-individu yang identitasnya ditetapkan berdasarkan sifat-sifat atau ciri-ciri fisik secara turun-temurun, misalnya berdasarkan warna kulit. Kelompok etnis merujuk kepada kumpulan individu-individu yang memiliki satu bahasa yang bersama, serta tradisi atau kebudayaan yang turun-temurun serta satu warisan bersama. Sedangkan kelompok agama adalah sekumpulan individu-individu yang identitasnya ditetapkan melalui keyakinan-keyakinan agama, ajaran-ajaran, ibadah-ibadah, atau ritual-ritual (Turangan, 2011:6).


B. Menurut Peraturan Perundang-Undangan Internasional

Genosida yang diartikan dengan pembunuhan dengan sengaja, penghancuran atau pemusnahan kelompok atau anggota kelompok tersebut, pertama sekali dipertimbangkan sebagai subkategori dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Piagam Mahkamah Militer Internasional Nuremberg (London Charter / Nuremberg Charter / Charter of the International Military Tribunal – Annex to the Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the European Axis) maupun Piagam Mahkamah Militer Internasional Tokyo (Charter of the International Military Tribunal for the Far East) tidak secara tegas menyebutkan kata genosida, menyikapi pemusnahan kaum Yahudi dan etnis lain atau kelompok agama, pada umumnya kejahatan tersebut diarahkan terhadap kejahatan penindasan (Cassese, 1994:98).
Istilah genosida secara lebih rinci didefinisikan di dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide atau Konvensi Genosida yang diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 260A (III) tanggal 9 Desember 1948. Pasal I Konvensi Genosida menyebutkan bahwa genosida merupakan tindak pidana internasional, baik dilakukan pada masa perang atau dalam kondisi damai. Sedangkan definisi mengenai genosida disebutkan dalam Pasal II yang berbunyi sebagai berikut:
“In the present convention, genocide means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
a)    Killing members of the group;
b)    Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
c)     Deliberately inflicting on the group conditions of the calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
d)    Imposing measures intended to prevent births within the group;
e)     Forcibly transferring children of the group to another group.”
Berdasarkan bunyi Pasal II Konvensi Genosida di atas, maka dapatlah diketahui bahwa di dalam Konvensi Genosida, genosida berarti setiap tindakan  yang disebutkan berikut ini yang dilakukan dengan sengaja untuk menghancurkan seluruhnya atau sebagian suatu kelompok bangsa, etnis, ras, atau keagamaan dengan cara:
1.     Membunuh anggota kelompok;
2.     Menyebabkan luka-luka serius terhadap tubuh dan mental anggota kelompok;
3.     Dengan sengaja menimbulkan kondisi kehidupan pada kelompok tersebut yang menyebabkan kerusakan fisik secara keseluruhan atau sebagian;
4.     Melakukan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok;
5.     Memindahkan anak-anak dalam kelompok ke kelompok lainnya secara paksa.
Berdasarkan ketentuan Pasal II Konvensi Genosida di atas, maka dapat dikatakan bahwa definisi genosida secara yuridis merupakan suatu tindakan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, atau keagamaan (Widyawati, 2014:58). Konvensi Genosida tersebut menjadi dasar pengaturan yang kemudian dijadikan pedoman untuk melakukan pengadopsian definisi dari genosida oleh instrumen-instrumen hukum internasional lainnya yang mnjadi dasar pembentukan mahkamah pidana internasional, baik yang bersifat ad hoc (Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia / International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda / International Criminal Tribunal for Rwanda) maupun yang bersifat permanen (Mahkamah Pidana Internasional / International Criminal Court), seperti Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (Statuta ICTY Tahun 1993), Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR Tahun 1994), dan Rome Statute of International Criminal Court (Statuta Roma Tahun 1998), bahkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam konstelasi hukum nasional Indonesia (Siswanto, 2013:29).
Di dalam Statuta ICTY, definisi genosida terdapat di dalam Pasal 4, dimana definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi genosida yang terdapat di dalam Pasal II Konvensi Genosida. Adapun bunyi Pasal 4 Statuta ICTY tersebut yaitu “…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in a part, a national, ethnical, racial or religious group as such: killing members of the group; causing serious bodily or mental harm to membees of the group; deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in a part; imposing measures intended to prevent births within the group; forcibly transferring children of the group to another group.” Termasuk dikategorikan sebagai genosida apabila suatu perbuatan sebagaimana tersebut di atas dilakukan konspirasi untuk melakukan genosida, secara langsung dan menghasut publik untuk melakukan genosida, berusaha untuk melakukan genosida, melengkapi genosida (conspiracy to commit genocide; direct and public incitement to commit genocide; attempt to commit genocide; complicity in genocide) (Effendi, 2014:113).
Pengaturan mengenai genosida yang sama dengan Pasal 4 Statuta ICTY di atas juga diterapkan kembali di dalam Pasal 2 Statuta ICTR dan Pasal 6 Statuta Roma. Perbedaannya adalah di dalam Statuta Roma terdapat perluasan dalam hal pertanggungjawaban pelaku kejahatan genosida. Adapun pengertian genosida yang terdapat di dalam Pasal 6 Statuta Roma ialah sebagai berikut:
“For the purpose pf this Statute, “genocide” means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
a)    Klling members of the group;
b)    Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
c)     Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
d)    Imposing measures intended to prevent births within the group;
e)     Forcibly transferring children of the group to another group.”
Defenisi genosida yang terdapat di dalam Pasal 6 Statuta Roma di atas tidak berbeda jauh dengan definisi genosida yang terdapat di dalam Pasal II Konvensi Genosida, Pasal 4 Statuta ICTY, dan Pasal 2 Statuta ICTR. Berdasarkan bunyi Pasal 6 tersebut di atas, maka genosida di dalam Statuta Roma berarti suatu tindak kejahatan dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan ataupun sebagian suatu kelompok berdasarkan bangsa, ras, etnis, ataupun agama. Perbuatan penghancuran yang dimaksud tersebut dapat dilakukan dengan dengan berbagai bentuk kejahatan seperti (Widyawati, 2014: 59-60):
1.     Membunuh anggota kelompok;
2.     Menyebabkan luka parah atau merusak mental anggota kelompok;
3.     Dengan sengaja mengancam jiwa anggota kelompok yang menyebabkan luka fisik bagian sebagian maupun keseluruhan;
4.     Melakukan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok;
5.     Memindahkan anak-anak secara paksa dari suatu kelompok ke kelompok yang lain.
Adapun penjelasan yang dapat dipahami dari beberapa tindakan kejahatan genosida di atas adalah sebagai berikut (Turangan, 2011:7):
1.     Membunuh anggota kelompok yaitu suatu tindakan yang dilakukan dengan secara sengaja perbuatan pembunuhan kepada sekelompok orang secara langsung yang kemudian tindakan-tindakan tersebut menyebabkan terjadinya kematian oleh kelompok orang. Dalam elemen-elemen kejahatan genosida yang dihasilkan oleh Komisi Persiapan Mahkamah Pidana Internasional telah menyebutkan bahwa istilah ‘membunuh’ dalam poin (a) tersebut dalam istilah yang dapat digunakan secara bergantian dengan istilah ‘menyebabkan kematian’ bagi sekelompok orang yang telah mendiami suatu daerah tertentu;
2.     Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok yaitu suatu perbuatan yang secara langsung kepada kelompok tertentu termasuk menyebabkan trauma atas anggota-anggota kelompok melalui penyiksaan, perkosaan dan kekerasan seksual yang meluas atau dengan pemaksaan untuk penggunaan obat-obatan dan mutilasi tubuh orang-orang tersebut;
3.     Dengan sengaja menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan untuk mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik baik sebagian maupun seluruhnya yaitu suatu perbuatan dengan sengaja menghilangkan sumber-sumber yang digunakan untuk melangsungkan kehidupan oleh suatu kelompok, seperti air bersih, makanan, pakaian, dan tempat tinggal atau tempat perlindungan. Tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan sumber-sumber dalam kelangsungan hidup manusia dari berbagai bentuknya, misalnya perbuatan yang dilakukan melalui pengambilan hasil panen, pemblokiran bahan makanan ataupun perumahan-perumahan yang digunakan sebagai tempat tinggal suatu kelompok tertentu, termasuk juga pemindahan dan pengusiran kelompok secara paksa. Perbuatan lain yang dilakukan dengan maksud membuat kelaparan, tidak terdapatnya fasilitas tempat perlindungan yang aman, dipaksa melakukan pekerjaan berat baik fisik maupun mental;
4.     Melakukan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok yaitu perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan menolak adanya kelahiran oleh suatu kelompok tertentu termasuk dengan melakukan sterilisasi di luar kemauan atau secara paksa, pengguguran atau aborsi yang dilakukan secara paksa, larangan untuk melakukan perkawinan. Perbuatan yang dilakukan untuk memisahkan antara kaum pria dan wanita dengan maksud mencegah terjadinya hubungan perkawinan dan perkembangan ataupun penerusan keturunan terhadap suatu kelompok tertentu;
5.     Memindahkan anak-anak secara paksa dari suatu kelompok ke kelompok yang lain yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan melalui paksaan untuk memindahkan kelompok anak-anak yang sebelumnya mendiami daerah tertentu dengan maksud untuk memisahkan ke kelompok yang lain. Korban yang diamksudkan ialah anak yang belum berumur 18 tahun. Tindakan yang dilakukan itu menimbulkan rasa ketakutan dengan bentuk kekerasan, pemaksaan, secara fisik, penangkapan, tekanan psikologis kepada anak-anak tersebut yang akan dipindahkan ke tempat yang lain dengan paksaan. Karena perbuatan pemindahan anak yang dilakukan secara paksa dapat mengakibatkan gangguan yang serius di dalam kelangsungan hidup anak di masa depan dan perkembangan suatu kelompok tertentu.

II. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Genosida


Dalam studi kriminologi, faktor-faktor penyebab terjaninya genosida disebut dengan ‘etiologi genosida’, yang merujuk pada teori-teori yang berusaha menjelaskan perihal sebab-musabab genosida sebagai bagian dari kejahatan (crime). Berbagai studi telah dilakukan untuk menggali faktor-faktor penyebab terjadinya genosida. Namun, pada umumnya dipahami bahwa genosida dilatarbelakangi oleh kontelasi faktor-faktor yang bersifat multikausal seperti psikologi dan sosio-antropologi (Siswanto, 2013:46-47).
Dari pespektif psikologi, ada beberapa elemen kejiwaan yang bisa berkontribusi terhadap munculnya genosida adalah narsisisme atau narcissism. Istilah narsisime diambil dari nama Narcissus, seorang tokoh dalam mitologi Yunani, yang merujuk kepada kondisi psikologis dimana seorang subjek memiliki rasa suka yang berlebihan terhadap diri sendiri. Dalam analisis Sigmund Freud, narsisisme kolektif sering kali harus dicapai dengan cara memantik konflik dengan pihak luar, biarpun alasan untuk berkonflik itu sebenarnya tidak terlampau penting, karena hal tersebut penting untuk untuk membuat demarkasi narsistik antara ‘kita’ dan ‘mereka’ (Jones, 2006:384).
Salah satu kategori narsisisme yang sering melatarbelakangi genosida adalah narisisme psikopatrik (malignant narcicissism), yaitu jenis narsisisme yang selain mendewakan diri sendiri juga menuntut orang lain untuk mengakui superioritas dan menghendaki penundukan diri orang lain kepada subjek terkait. Jadi, bagi pengidap narsisisme psikopatrik pihak lain ada hanya untuk menjadi objek eksploitasi. Sejarah mencatat adanya figur-figur penentu kebijakan genosidal yang ditengarai memiliki problem kejiwaan yang berkaitan dengan narsisisme psikopatrik, seperti Adolf Hitler selaku tokoh sentral dalam peristiwa Holocaust yang karakter narsisisme psikopatiknya terpuaskan melalui versi Doa Bapa Kami (Pater Noster atau The Lord’s Prayer) yang digubah ulang oleh Liga Pemudi Jerman (League of German Girls) sehingga berbunyi: “Adolf Hitler, you are our great Leader. Thy name makes the enemy tremble. Thy Third Reich comes, thy will alone is law upon earth…” (Jones, 2006:385). Slobodan Milosevic, mantan presiden Serbia yang bertanggung jawab atas pemusnahan etnis Bosniak di bekas wilayah bekas Yugoslavia juga dipandang memiliki kepribadian narisisme psikopatrik, dimana ia membangun kepribadiannya sendiri dan mempersepsikan dunia di luar dirinya sedemikian rupa sehingga cocok dengan kepribadian yang dibangunnya (Sell, 2002:173). Narsisisme psikopatrik seperti inilah yang disebut dengan narsisisme psikopatrik pada tingkat individu.
Selain pada tingkat individu, narsisisme psikopatrik ini sendiri juga terdapat pada tingkat kolektif, dimana dalam hal ini sebuah masyarakat menganggap diri mereka sebagai sebuah kolektivitas pilihan yang bersifat khusus, paling benar, dan memiliki superioritas dalam segala hal. Terkait dengan narsisisme psikopatrik ini, seorang filsuf bernama Sam Vaknin mendeskripsikan bahwa sebuah kelompok ataupun para anggota dari kelompok tersebut menganggap bahwa kelompoknya merupakan kelompok dengan keberhasilan yang tidak terbatas, penuh dengan ketenaran, memiliki kekuasaan yang ditakuti oleh siapapun atau mahakuasa, memiliki kepintaran yang tidak dapat ditandingi, memiliki penampilan dan bentuk tubuh yang paling indah atau ideal, kekal, unik, dan untuk itu mereka membutuhkan penghormatan yang berlebihan, pujian yang berlebihan, perhatian dan pernyataan bahwa mereka adalah kelompok yang paling ditakuti dan termasyhur. Mereka mengharapkan diperlakukan secara khusus dan baik, mereka menuntut agar segala yang diharapkannya terpenuhi secara otomatis, mereka jarang sekali bertanggung jawab atas perbuatannya, tidak berempati, tidak mau mengakui atau disamakan dengan kelompok lainnya, bersifat angkuh dan sombong ditambah dengan perilaku yang mudah mengamuk ketika frustasi, dibantah, dihukum, dibatasi, atau dilawan. Kesemuanya ini menuntun mereka memiliki perilaku anti-sosial, fanatik, dan melakukan aktivitas kriminal dalam skala yang besar (Jones, 2006:386). Hal ini ditunjukkan oleh komunitas Nazi Jerman yang menganggap bahwa mereka sebagai penerus sah dari ras Arya yang merupakan ras superior, sehingga mengakibatkan sikap dehumanisasi terhadap kelompok masyarakat lainnya yang pada akhirnya berkontribusi pada munculnya genosida.
Dari perspektif sosio-antropologi, ada dua elemen yang dipandang memiliki kontribusi terhadap genosida, yakni modernisasi dan konflik etnis. Modernisasi dipandang berpotensi menciptakan situasi genosida karena empat hal, yakni (Siswanto, 2013:51-52):
1.     Konsep nasionalisme modern, yakni konsep yang membagi habis dunia ke dalam negara-negara. Kondisi ini membuat kelompok-kelompok ras yang dianggap tidak sebangsa di sebuah negara menjadi rentan untuk diperlakukan sebagai kelompok yang berbeda. Ditambah dengan faktor psikologis sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kondisi ini bisa melahirkan situasi genosida, dimana situasi seperti inilah yang dialami oleh etnis Yahudi sebagai sebuah bangsa tanpa negara dan selalu dilihat sebagai bangsa asing di manapun mereka berada, sampai dengan terbentuknya negara Israel pada tahun 1948.peman
2.   Rasisme ilmiah, dimana konsep ini biasanya dipergunakan sebagai selubung yang dianggap objektif untuk mendukung superioritas kelompok bangsa, ras, atau etnis tertentu, seraya membenarkan tindakan merendahkan atau bahkan memusnahkan bangsa, ras, atau etnis lain. Hal ini dilakukan oleh rezim Nazi Jerman untuk mendukung superioritas ras Arya, mendehumanisasikan etnis Yahudi, dan pada akhirnya menjadi dasar bagi kebijakan yang disebut sebagai ‘the final solution’ atau solusi akhir, yang menghendaki pemusnahan etnis Yahudi.
3.     Pemanfaatan teknologi secara keliru. Hal ini ditandai dengan penemuan senjata-senjata pemusnah massal, seperti senjata biologi dan kimia, seakan-akan memunculkan daya Tarik tersendiri bagi pelaku genosida untuk melakukan kejahatan genosida secara efisien dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Contoh nyata yang dapat digambarkan dalam hal ini ialah penggunaan kamar-kamar gas (gas chambers) yang dilengkapi dengan racun racun HCN atau hidrogen sianida atau Zyklon B di kamp-kamp pemusnahan yang ada di wilayah kekuasaan Nazi Jerman pada peristiwa Holocaust.
4.     Rasionalisasi atau pengembangan birokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan mekanisme yang bersifat impersonal di dalam sebuah birokrasi memunculkan kondisi dimana tindakan genosida sering dipandang sekadar sebagai konsekuensi logis dari sebuah keputusan birokratis yang tidak perlu dinilai secara moral.
Selain faktor modernisasi, faktor lain yang sangat menentukan terjadinya genosida dalam perspektif sosio-antropologi ialah konflik etnis. Michael E. Brown memberikan definisi konflik etnis sebagai sebuah pertikaian yang berkaitan dengan permasalahan politik, ekonomi, sosial, budaya, atau wilayah antara dua atau lebih komunitas etnis. Definisi ini menunjukkan adanya dua unsur dalam suatu konflik etnis, yaitu (Siswanto, 2013:53):
1.   Unsur substansial, yang merujuk pada isi dari konflik etnis, yakni pertikaian yang berkaitan dengan permasalahan politik, ekonomi, sosial, budaya, atau wilayah;
2.     Unsur subjek, merujuk pada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik etnis, yakni dua atau lebih komunitas etnis. Lebih lanjut, Brown mengemukakan bahwa suatu komunitas etnis harus mempunyai enam kriteria berikut:
a.     Kelompok itu harus memiliki nama sendiri sebagai cerminan identitas kolektif;
b.    Anggota kelompok memiliki keyakinan bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama;
c.     Anggota kelompok merasa bahwa mereka memiliki pengalaman sejarah yang sama;
d.    Kelompok itu memiliki budaya yang sama;
e.     Kelompok itu merasa memiliki keterkaitan dengan wilayah tertentu; dan
f.     Anggota kelompok harus menganggap diri mereka sebagai suatu kelompok atau satu kesatuan (memiliki self-awareness).
Secara sistematik, Brown mengidentifikasikan adanya empat kelompok faktor (cluster of factors) yang dapat memunculkan konflik etnis dan berujung atau mengalami eskalasi kea rah genosida, antara lain (Siswanto, 2013:54):
1.     Secara struktural, terdapat dua faktor, yakni negara yang lemah (weak state) dan keamanan internal (internal security);
2.     Secara ekonomis dan sosial, tedapat dua faktor, yakni sistem ekonomi yang diskriminatif (discriminative economic system) dan pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara tidak adil (unfair allocation of economic resources);
3.     Secara politis, diakibatkan oleh sistem perpolittikan yang diskriminatif (discriminative political system);
4.     Secara kultural dan perseptual, diakibatkan oleh kebencian pada masa lampau atau dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan istilah dendam kesumat (ancient hatred).

III. Sejarah Kejahatan Genosida


A. Herero and Namaqua Genocide

Peristiwa genosida ini terjadi di Namibia pada tahun 1904 hingga 1907. Peristiwa ini lebih dikenal dengan Herero and Namaqua Genocide, sebab peristiwa ini melibatkan dua suku yang dominan di wilayah Namibia, yakni suku Herero dan suku Nama (Cooper, 2006:113). Pada saat itu, Namibia merupakan wilayah jajahan Jerman dan berstatus sebagai wilayah protektorat Jerman dengan nama Afrika Barat Daya Jerman (Deutsch-Suedwestafrika). Peristiwa ini didahului dengan pemberontakan yang dilakukan oleh suku Nama di bawah pimpinan Hendrik Witbooi pada tahun 1903 dan diikuti oleh suku Herero di bawah pimpinan Samuel Maharero pada tanggal 12 Januari 1904 terhadap pemerintah kolonial Jerman yang sewenang-wenang merampas lahan-lahan subur beserta ternak-ternak milik suku-suku asli.
Untuk mengantisipasi pergolakam tersebut, pemerintah kolonial Jerman yang mengangkat Letnan Jenderal Lothar van Tohta sebagai Komandan Tertinggi (Oberbefehlshaber) di Afrika Barat Daya Jerman pada tanggal 3 Mei 1904, dimana ia tiba dengan membawa sekitar 30.000 pasukan bersenjata. Di bawah komandonya, pasukan Jerman berhasil mengepung para pemberontak Herero dan Nama serta menyudutkan mereka di sebuah lokasi yang jalan keluar satu-satunya adalah gurun Kalahari yang ganas. Selain itu, serdadu Jerman diperintahkan untuk meracuni beberapa mata air kecil yang ada di sana. Hal ini menyebabkan suku Herero dan Nama menjadi kelaparan dan kehausan hingga mati (Totten, Parsons, dan Charny, 2004:22). Pada tanggal 2 Oktober 1904, van Trotha memerintahkan agar setiap warga Herero dan Nama yang ditemukan masih hidup, baik bersenjata maupun tidak untuk ditembak mati. Sementara sebagian warga Herero dan Nama yang masih bertahan hidup dikumpulkan untuk dikirim ke Kamp Konsentrasi Pulau Shark untuk melakukan kerja paksa (Hartmann, Silvester, Hayes, 1999:118). Jumlah keseluruhan korban tewas dalam peristiwa genosida ini meliputi 24.000 hingga 100.000 orang Herero dan 10.000 orang Nama (Sarkin-Hughes, 2008:142).

B. Armenian Genocide

Peristiwa genosida ini terjadi pada etnis Armenia yang berdiam di wilayah selatan pegunungan Kaukasus pada tahun 1915 (Armenian Genocide atau Medz Yeghern), dimana pada saat itu wilayah tersebut masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh gerakan kelompok politik ‘Turki Muda’ atau Committee of Union and Progress (CUP) yang menggulingkan sultan Ottoman pada tahun 1908 guna menghendaki agar Turki menjadi negara yang modern, sekuler, dan dikelola seperti negara-negara barat. Pada Perang Dunia I, CUP berpihak kepada Jerman, sehingga menempatkan Kekaisaran Ottoman bermusuhan dengan Kekaisaran Rusia. Dalam situasi seperti ini muncul kekhawatiran di pihak Turki bahwa etnis Armenia yang Kristen akan membantu Rusia (Siswanto, 2013:35).
Didorong atas kekhawatiran tersebut, pada tanggal 29 Mei 1915, CUP menerapkan Techrir Law atau aturan yang memberikan kewenangan kepada pemerintah Ottoman dan otoritas militernya untuk mendeportasikan siapa saja yang diangggap dapat membahayakan keamanan nasional (Balakian, 2003:25). Berdasarkan aturan tersebut, pemerintah Ottoman memutuskan untuk mengusir seluruh etnis Armenia yang kala itu berjumlah 1,7 juta jiwa dari Turki. Hal ini mengakibatkan etnis Armenia mati kelaparan dan kehausan, terutama di gurun Deir er-Zor, Suriah (Dadrian, 1995:350), . Pemerkosaan, pelecehan seksual, bahkan perdagangan manusia untuk dijadikan budak seks juga dilakukan oleh para serdadu Ottoman terhadap para wanita ernis Armenia (Akcam, 2012:312-315). Bahkan, Konsul Jerman di Aleppo yang bernama Walter Rößler menyatakan bahwa tak jarang gadis-gadis Armenia yang parasnya cantik diperkosa oleh 10-15 orang serdadu Turki dan kemudian gadis itu dibiarkan begitu saja hingga mati (Gust, 2013:26-27).
Selain itu, sebanyak 25 kamp konsentrasi dibangun untuk menampung orang-orang Armenia yang masih hidup untuk dijadikan pekerja paksa. Di dalam kamp tersebut, pemerintah Ottoman tidak memberikan makanan dan minuman kepada orang-orang Armenia, sehingga mengakibatkan 6.000 etnis Armenia mati secara perlahan karena kelaparan, kehausan, dan penyakit disentri (Gust, 2013:653-654). Pada tahun 1918, Komandan Pasukan Ketiga Ottoman memerintahkan pasukannya untuk membakar etnis Armenia secara massal yang ada di sebuah desa dekat Mus. Pembakaran massal ini juga digunakan sebagai metode yang singkat untuk menghabisi para wanita dan anak-anak yang ada di dalam kamp konsentrasi (McClure, 1917:400-401). Sementara pembunuhan massal terhadap etnis Armenia yang ada di Provinsi Trabzond dilakukan dengan cara membawa mereka, terutama wanita dan anak-anak dengan kapal, lalu membuang dan menenggelamkan mereka ke tengah laut hingga mereka mati tenggelam (Winter, 2003:81).
Vahakn Dadrian menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat peristiwa penenggelaman di Laut Hitam sekitar 50.000 orang. Sementara korban tewas akibat peristiwa penenggelaman di Sungai Efrat dan sekitarnya tidak terhitung jumlahnya. Sedangkan jumlah korba tewas di Sungai Bitlis berkisar 900 orang (Charny, Tutu, dan Wiesenthal, 2000:95). Sementara pembunuhan massal yang terjadi di kamp-kamp konsentrasi dilakukan dengan eksperimen medis terhadap etnis Armenia dengan menggunakan racun dan metode overdosis obat-obatan, yang terdiri dari morfin (morphine), gas beracun (toxic gas), dan suntikan virus tipus (typhoid inoculation) (Dadrian, 1986:169-192). Adapun perkiraan jumlah etnis Armenia yang tewas dalam peristiwa genosida ini berkisar antara 800.000 hingga 1.500.000 jiwa (Heidenrich, 2001:5).

C. Holodomor

Peristiwa genosida ini terjadi di Ukraina pada tahun 1932 yang dikenal sebagai Holodomor yang dilakukan oleh Uni Soviet yang membunuh 2.500.000 hingga 7.500.000 etnis Ukraina (Jones, 2006:194). Genosida tersebut dilakukan karena pimpinan Uni Soviet, Joseph Stalin berusaha untuk memusnahkan gerakan kemerdekaan Ukraina dari Uni Soviet (Davies dan Wheatcroft, 2002:77). Tindakan genosida yang dilakukan oleh Uni Soviet ialah membiarkan etnis Ukraina mati kelaparan, memaksa untuk menyetor gandum-gandum milik mereka kepada Uni Soviet, menaikkan pajak, serta membunuh dalam jumlah yang besar. Mereka yang dianggap kuat secara fisik dikirim ke kamp-kamp konsentrasi di Siberia untuk bekerja paksa, sementara yang lainnya dibiarkan kelaparan di kampung halamannya, dengan mengisolasi dan tidak memasok bahan-bahan makanan ke wilayah yang didiami oleh etnis Ukraina (Siswanto, 2013:36-37).

D. Holocaust

Peristiwa genosida ini merupakan peristiwa pembunuhan massal yang menimpa kurang lebih 6.000.000 etnis Yahudi di Eropa di bawah rezim Nazi Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler pada tahun 1933 hingga 1945 (Snyder, 2010:45). Akan tetapi, kelompok etnis yang menjadi korban dalam peristiwa Holocaust ini tidak hanya menimpa etnis Yahudi saja, melainkan juga meliputi kelompok etnis Romania, Polandia, Gipsi, Serbia, dan Slav; kelompok politik seperti kelompok komunis dan pasukan bersenjata Uni Soviet; kelompok keagamaan seperti Freemason dan Saksi Yehuwa; serta kelompok sosial seperti homoseksual dan kaum disabilitas, yang berdiam di wilayah kekuasaan dan wilayah taklukan Nazi Jerman, yang apabila dijumlahkan bersama-sama dengan etnis Yahudi mencapai 11.000.000 jiwa (Niewyk dan Nicosia, 2002:45-52).
Kejahatan genosida yang dilakukan oleh pemerintah Nazi Jerman khususnya kepada etnis Yahudi ialah menangkap dan memasukkan mereka ke dalam kamp-kamp konsentrasi untuk dijadikan sebagai pekerja paksa untuk membuat senjata-senjata perang bagi bala tentara Nazi Jerman, dimana rata-rata tingkat kematian di kamp-kamp konsentrasi mencapai angka 50% (Harran, 2000:321). Di dalam kamp-kamp ini, etnis Yahudi dan lainnya dipaksa untuk bekerja sampai mati. Dalam satu hari, mereka wajib bekerja selama 12 hingga 14 jam tanpa henti. Apabila kedapatan ada yang keadaan fisiknya mulai melemah, maka tentara Nazi Jerman akan membunuhnya dengan cara menembak secara langsung atau memasukkan mereka ke dalam kamar gas yang berisi gas beracun (Longerich, 2010:314-320).
Selain membuat kamp-kamp konsentrasi, pemerintah Nazi Jerman juga membuat ghetto atau suatu wilayah terisolir yang di dalamnya dipenuhi oleh etnis Yahudi, khususnya di Polandia. Orang-orang Yahudi yang ada di dalam ghetto tersebut tidak boleh keluar dari wilayah tersebut dan ghetto tersebut juga tertutup bagi dunia luar atau orang-orang asing, selain tentara Nazi Jerman (Hilberg, 2003:216-217). Sama halnya dengan etnis Yahudi yang ada di kamp konsentrasi, etnis yahudi yang berada di dalam ghetto juga dipaksa untuk bekerja, dan sewaktu-waktu mereka akan dideportasikan ke kamp-kamp pemusnahan untuk dibunuh (Hilberg, 1995:106). Pendeportasian seluruh etnis Yahudi dari ghetto-ghetto ke kamp-kamp pemusnahan baru dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 1942 dengan menggunakan transportasi kereta api pengangkut hewan ternak (Berenbaum, 2005:116).
Di kamp pemusnahan, etnis Yahudi dan yang lainnya dipaksa untuk memasuki kamar-kamar dengan alasan mereka harus mandi dan sauna terlebih dahulu, sehingga mereka melepaskan pakaian yang mereka gunakan dan telanjang, kemudian mereka akan dikunci dari luar. Akan tetapi, kamar-kamar yang mereka masuki tersebut bukanlah kamar biasa, melainkan kamar gas (gas chambers), dimana ketika mereka sudah memasukinya, maka gas akan keluar dari ventilasi-ventilasi yang ada di sudut-sudut ruangan dan memenuhi kamar tersebut, sehingga membuat semua orang yang ada di dalamnya mati tercekik dan keracunan. Adapun jenis racun yang dipergunakan ialah racun HCN atau hidrogen sianida (Piper, 1998:173). Demikianlah kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman di bawah pemerintahan Adolf Hitler, khususnya bagi etnis Yahudi. Dan dari peristiwa Holocaust inilah International Military Tribunal of Nuremberg atau Mahkamah Militer Internasional Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi Jerman.

E. Cambodian Genocide

Peristiwa genosida ini terjadi di Kamboja pada tahun 1975 hingga 1979 yang dilakukan oleh rezim gerilyawan komunis Khmer Merah (Khmer Rogue) yang dipimpin oleh Jenderal Pol Pot, dan menewaskan sekitar 1.500.000 hingga 3.000.000 jiwa (Frey, 2009:83). Korban kejahatan genosida yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah khususnya kepada semua kelompok keagamaan di Kamboja yang meliputi Islam, Kristen, dan Buddha, bahkan hingga kepada kelompok etnis minoritas Champa (Kiernan, 2003:30). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memurnikan populasi bangsa Khmer dan merombak sistem perpolitikan Kamboja menjadi sebuah negara sosialisme agraris (agrarian socialism) yang berlandaskan atas ideologi komunisme, khususnya Stalinisme dan Maoisme (Hannum, 1989:88-89). Kejahatan yang dilakukan ialah dengan merelokasikan secara paksa kelompok-kelompok tersebut dari wilayah-wilayah perkotaan, penyiksaan, pembunuhan massal, menjadikan pekerja paksa, serta membiarkan terjadinya kelaparan dan malnutrisi yang berujung pada kematian (Heuveline, 1998:49-65).

F. Bangladesh Genocide

Peristiwa genosida ini dilakukan oleh agnkatan bersenjata Pakistan dan kelompok-kelompok militan seperti Jamaat-e-Islami, Shanti Committee, Razakars, al-Badr, dan al-Shams terhadap etnis Benggali di Pakistan Timur pada tanggal 21 Maret hingga 16 Desember 1971. Peristiwa genosida ini dilatarbelakangi oleh tindakan pemerintah Pakistan yang dikuasai oleh etnis Punjabi yang berdiam di Pakistan Barat menganggap bahwa etnis Benggali yang berdiam di Pakistan Timur sebagai kaum inferior (rendahan) dan ajaran Islam yang mereka laksanakan tidak murni. Hal ini menyebabkan etnis Punjabi memaksakan etnis Benggali untuk berasimilasi dengan budaya Punjabi (Mookherjee, 2009:51). Secara demografis, etnis Benggali yang berjumlah 75.000.000 jauh lebih besar daripada etnis Punjabi yang hanya berjumlah 55.000.000 (Jones, 2006:340). Hal ini mengakibatkan kaum nasionalis Benggali memberontak dan ingin membuat pemerintahannya sendiri yang merdeka dari Pakistan yang dikuasai oleh etnis Punjabi. Hal ini ditunjukkan dengan diadakannya pemilihan umum pada bulan Desember 1970, yang memilih Syaikh Mujibur Rahman sebagai pemimpin Pakistan Timur (Roy, 2010:102).
Pemerintah Pakistan menolak hal tersebut dan melancarkan sebuah operasi militer yang bernama operation searchlight pada bulan Maret 1971, yang tujuan aslinya ialah untuk menahan elemen separatis dari gerakan nasionalisme Benggali, mengambil kendali atas kota-kota penting yang ada di Pakistan Timur, serta menghapuskan semua kaum oposisi dalam waktu satu bulan (Salik, 1997:63). Akan tetapi, tujuan utama ini tidak diindahkan oleh angkatan bersenjata Pakistan berserta pada kelompok militant pendukungnya, sehingga pada akhirnya mereka juga membunuh etnis Benggali yang tidak bersalah yang berkisar antara 300.000 hingga 3.000.000 jiwa, serta memperkosa 200.000 hingga 400.000 wanita Benggali (Sharlach, 2000:92-93).

G. Guatemalan Genocide

Peristiwa genosida ini terjadi di Guatemala pada tahun 1982 yang dilakukan oleh mantan presidennya yang bernama Efrain Rios Montt, dengan dukungan angkatan bersenjatanya melakukan penindasan secara keras terhadap setiap upaya perlawanan kepada pemerintah, khususnya terhadap masyarakat asli Ixil Maya, dimana sebanyak 626 desa dirazia dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah beserta dengan hasil pertanian dam ternak mereka. Antara tahun 1966 hingga 1990 diperkirakan sebanyak 200.000 jiwa menjadi korban kejahatan genosida yang dilakukan oleh pemerintah Guatemala, khususnya terhadap etnis Ixil Maya (Siswanto, 2013:41).

H. Rwandan Genocide

Peristiwa genosida ini terjadi pada tanggal 7 April hingga 15 Juli 1994. Peristiwa genosida ini dilakukan terhadap etnis Tutsi yang dilakukan oleh etnis Hutu sebagai etnis mayoritas di Rwanda. Dalam rentang waktu tiga bulan tersebut, diperkirakan sekitar 500.000 hingga 1.000.000 jiwa tewas (Harsch, 1998:4). Kebanyakan korban dibunuh di desa-desa atau kota-kota tempat tinggal mereka sendiri oleh etnis Hutu yang desa atau kotanya bersebelahan dengan mereka. Angkatan bersenjata Rwanda membunuh masyarakat Tutsi dengan menggunakan machete (sejenis parang yang biasanya digunakan untuk menerobos hutan hujan tropis dan memotong batang tebu) dan senapan. Bahkan, pemerintah daerah dari kota dan desa yang didiami oleh etnis Tutsi mengabarkan melalui siaran radio bahwa warga sipil wajib turut serta untuk membunuh etnis Tutsi yang ada di lingkungannya masing-masing, dan apabila warga sipil yang bersangkutan menolak, maka ia juga akan dibunuh di tempat oleh angkatan bersenjata Rwanda (Prunier, 1998:98).
Para wanita etnis Tutsi juga menjadi korban pemerkosaan dan dijadikan budak seks.oleh angkatan bersenjata Rwanda seperti Army for the Liberation of Rwanda, The Rwandan Security Forces, dan Presidential Guard, bahkan juga oleh masyarakat sipil etnis Hutu. Tindakan serupa juga dilakukan terhadap etnis Hutu yang moderat dan orang-orang yang lahir sebagai hasil percampuran antara etnis Tutsi dan Hutu (de Brouwer, 2005:13). Peristiwa Rwandan Genocide inilah yang kemudia menjadi latar belakang terbentuknya International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) atau Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda pada tanggal 8 November 1994 berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor S/RES/955 untuk memeriksa dan mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan genosida yang dilakukan di Rwanda (Aptel, 2008:169-188).

I. Bosnian Genocide

Peristiwa genosida yang terjadi di Bosnia-Herzegovina pada tanggal 11 sampai dengan 13 Juli 1995, yang dikenal dengan nama Bosnian Genocide. Peristiwa genosida ini dilakukan oleh etnis Bosnian Serb yang beragama Kristen Ortodoks terhadap etnis Bosniak yang beragama Islam dan Bosnian Croat yang beragama Kristen Katolik. Kejahatan yang dilakukan oleh etnis Bosnian Serb meliputi pengungkungan secara melawan hukum, pembunuhan massal, pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan, perampokan, perlakuan yang tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, menargetkan para pemimpin politik beserta kaum intelektual dan profesional, pendeportasian secara paksa, merampas harta benda, menghancurkan rumah-rumah dan toko-toko, serta menghancurkan tempat beribadah etnis Bosniak dan Bosnian Croat. Adapun jumlah korban tewas pada peristiwa ini sekitar 8.372 jiwa (Mojzes, 2011:178).